Nur Alim Djalil
Sudah cukup lama saya penasaran dengan kota kecil di Kalimantan Timur ini. Berau. Akhirnya saya dan istri dapat memijaknya, Rabu, 04 Juni 2025. Kami mendarat di Bandar Udara Kalimarau, Berau, pukul 10:55 Wita.
Beberapa menit sebelum mendarat, saya melihat hutan-hutan seperti kepala yang di-tokka, pitak, di sana-sini lantaran pertambangan.
Saya teringat bahwa Berau adalah penghasil batubara. Produksinya cukup besar. Hampir sebagian besar suplai tenaga listrik di Indonesia diperoleh dari bahan baku batubara di Berau. Wow, keren.



Pantas saja begitu memasuki kota Berau, banyak bereliweran kendaraan proyek double cabin. Juga pekerja yang menggunakan seragam proyek.
Kabupaten Berau sekarang berasal dari Kesultanan Berau yang didirikan abad ke-14. Baddit Dipattung raja pertamanya.
Pusat kerajaan berkedudukan di Sungai Lati. Ternyata pusat kerajaan ini mengandung kekayaan alam yang cukup besar. Terbukti sekarang menjadi lokasi pertambangan batubara PT Berau Coal.
Saat ini pusat pemerintahan Berau adalah di Tanjung Redeb. Dulu pusatnya di Kampung Gayam. Kalau sekarang lebih dikenal dengan Kampung Bugis. Kampung Bugis inilah menjadi cikal-bakal berdirinya Kota Tanjung Redeb yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Berau sekarang.



Berkeliling Berau, saya penasaran ingin mencicipi makanan khasnya. Ketika keinginan itu saya sampaikan, sopir online yang membawa kami mengatakan bahwa makanan khas di Berau adalah Coto Makassar.
”Ah, bercanda,” jawab saya.
”Betul. Setiap orang yang bertanya demikian maka saya sampaikan makanan khas di Berau adalah Coto Makassar,” jawabnya kalem. “Di sini tidak ada makanan khas.”
Ini mungkin wajar karena Berau dikembangkan oleh pendatang, terutama Bugis-Makassar. Rumah-rumah makan, dominan masakan olahan seperti yang di Makassar, misalnya pallumara, pallukaloa, dan sebagainya. Maka wajar bila masakan seperti Coto Makassar, banyak dijumpai di Berau.
Demikianlah Berau. Lantaran kerajaan kesultananan, banyak dijumpai masjid yang besar. Suasana Islami sangat terasa. Beberapa toko yang kami masuki, diputar murottal. Karyawatinya mengenakan hijab panjang.
Saya kira ini suasana menyambut Iduladha. Ketika saya konfirmasi ke sekuriti toko, jawabnya memang sudah begitu kebiasaannya.



Berau sangat tenang kotanya. Tidak saya jumpai kendaraan yang ugal-ugalan. Untuk belok-belok aman, untuk parkir juga aman. Tak ada tukang parkir.
Malam pertama kami menikmati duduk-duduk di tepian Sungai Segah melihat-lihat kapal pengangkut batubara akan melintas di sungai. Kami memesan jagung bakar. Kota ini saya rasa akan berkembang dengan baik.