Nur Alim Djalil
Gerimis tipis. Kami berjalan kaki dari hotel di Jalan Karet Padurenan, Kuningan, kemudian menyeberang dua kali di Jalan Prof Dr Satrio, terus ke bus stop Viva Futsal untuk naik Trans Jakarta. Bayangan dan pengalaman transportasi di ibukota negara yang padat, krodit, berdesakan, dan gelantungan sudah tak ada sama sekali. Sudah sangat lancar, tertib, dan nyaman.
Menunggu kurang-lebih delapan menit, bus 6D datang. Kami bersiap-siap. Penumpang bergegas turun. Setelah itu kami bergegas naik. Masing-masing menempelkan kartu elektronik. Kartu tol atau parkir yang biasa kami pakai di Makassar. Tarifnya Rp3.500. (Khusus 31 Desember 2024, tarifnya Rp1).
Tercapai keinginan kami untuk naik Trans Jakarta. Bus agak longgar. Kami senyum-senyum. Foto-foto. Video-video.



Kami turun di bus stop GBK 1. Sebelum turun kami tempelkan kartu lagi di samping sopir. Terus menyeberang ke bus stop tujuan Central Park, Jalan Letjen S Parman, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
Setiap bus stop, penumpang yang naik tidak terlalu banyak. Entahlah kalau sebentar.
Di pemberhentian berikutnya, seorang ibu dan putra remajanya agak terlambat bergerak. Pintu bus sudah tertutup, pas ketika mereka berada di depan pintu.
Akhirnya mereka pasrah, duduk lagi di tempat semula, bermaksud turun di bus stop berikutnya. Tapi si supir ternyata berbaik hati. Dia membuka pintu bus lagi dan ibu-anak itu turun bergegas. Berulang-ulang mereka mengucapkan terima kasih.
Kami turun bus di depan Central Park. Begitu akan keluar di pintu koridor, kartu saya tidak berfungsi. Indikator menunjukkan tanda X merah. Saya coba lagi, sama. Syukur, akhirnya tanda panah hijau.
Masuk Central Park, tujuan kami untuk lihat-lihat. Saya hanya ingin membantu istri — agar indikator kebugaran di aplikasi gejetnya tembus 10.000 langkah. Saya kira di dalam supermal ini, jumlah langkah itu akan mudah dan jauh terlampaui.
Langkah kami berujung dengan duduk dalam gelap di CGV. Film “2nd Miracle in Cell No.7” mengaduk-aduk sedih dan tawa.
“Naik Trans Jakarta lagi untuk pulang?” kode istri saya.
“Cukup, langkah kita sudah lebih dari cukup hari ini, lagi pula, entar hujan,” ucap saya, padahal sudah teramat ingin merebahkan diri di tempat tidur.