Nur Alim Djalil
Banyak cerita, puisi, lukisan, dan tentu saja kisah cinta mengenai jalan bernama Braga di Bandung ini. Sebentang jalan yang telah sangat populer sejak pemerintahan Hindia Belanda. Awalnya, pada abad ke-18, hanyalah jalan pedati. Perlahan berkembang setelah warung-warung dan toko mulai tumbuh di sekitarnya. Sampai sekarang sih masih ada pedati yang lewat.
Setiap malam jalan ini tidak pernah sepi. Pengunjung dari berbagai kota di tanah air datang sekadar menimati suasana Braga. Terlebih pada musim libur dan menjelang akhir tahun seperti ini.




Inilah sebentang jalan yang sungguh terawat kisah sejarahnya. Kiri-kanan berjejer bangunan tua peninggalan Belanda. Lengkap dengan cerita pemilik dan peruntukan bangunan tersebut.
Ada toko Sarinah. Dulu bernama Onderling Belang. Dibangun 1910. Pemilik HMJ Koch. Pusat perbelanjaan mode pertama di Bandung. Benang merah inilah sehingga Bandung dijuluki kota mode. Pada masa Soekarno, dinasionalisasi namanya menjadi Sarinah — diabadikan dari nama salah satu pengasuh Soekarno.
Ada Gedung De Majestic. Mulai dibangun pada 1920. Rampung lima tahun kemudian. Fungsinya sebagai bioskop kalangan atas. Namanya Bioscoop Concordia. Film pertama diputar berjudul “Loeteng Kasaroeng” pada 1926. Belanda diusir, Bandung jadi lautan api, bioskop ini kemudian dinasionalisasi menjadi Bioskop Dewi.
Ada Gids van Bandoeng. Ini percetakan majalah sejak 1940. Pemiliknya EHH Buck. Tujuan penerbitan majalah ini untuk memberi informasi bagi orang Eropa yang mulai berdatangan ke Bandung dan sekitarnya. Semacam informasi panduan wisata.
Saya membayangkan bagaimana kesibukan di sebentang jalan ini ketika itu. Orang-orang Belanda, pedagang China berinteraksi dan para pribumi dengan celana pendek longgar, bertelanjang dada, sebagian menjadi pekerja kasar di toko dan rumah makan.
Braga kini adalah perpaduan tempo dulu dan milenial. Dari kuliner nasi goreng Sunda, mie caciang, pizza, hingga tiramisu. Dari kacang rebus hingga cimol.
Saya di antara manusia yang lalu-lalang itu. Ditemani istri tercinta yang selalu sumringah, minta difoto.
Fotografer dan pemusik jalanan beraksi. Beberapa pelukis asik di depan kanvas. Ada pasangan yang bertengkar. Seru kelihatannya. Si cewek sampai nangis.
Demikianlah Braga.
Dan, di sudut lain, ada sepasang kakek-nenek yang juga ingin difoto: itulah kami.