Oleh: Nur Alim Djalil
Pemuda Kampung Tidung dalam penggarapan film Dokumenter “Jejak Perjuangan Abdullah Daeng Sirua” salah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Kampung Tidung, Kelurahan Tidung, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, memiliki sejarah yang panjang. Sejak zaman kerajaan Gowa-Tallo hingga mempertahankan kemerdekaan, penduduknya dikenal sebagai prajurit pejuang. Juga sebagai tempat mempelajari ilmu agama.
Sebelum Islam
Kampung Tidung berdasarkan jejak sejarah, sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Kerajaan Gowa-Tallo pada 1605. Ini bila berdasarkan nama seorang putra Raja Tallo III, I Mangngayoang Berang Karaeng Pasi Tunipasuru (1500-1543) yang menikah dengan I Pasilemba, salah seorang dari putri Karaeng Loe Ri Marusu, Raja Marusu III.
Berdasarkan catatan Lontara Bilang Gowa-Tallo dan Lontara Bilang Raja Tallo, disebutkan bahwa pernikahan tersebut lahir 10 anak dan anak yang ketujuh bernama: I Karaeng Ri Tidung.
Bila melihat penamaan tersebut, I Karaeng Ri Tidung, sudah merujuk ke suatu tempat atau wilayah, yakni Tidung. Berarti Tidung ketika itu merupakan suatu tempat atau wilayah yang telah dihuni banyak penduduk dengan segala aktivitas yang mengacu ke Kerajaan Gowa-Tallo ketika itu.
Tidung sendiri, dalam bahasa Melayu Kuno, berarti “tanah yang agak tinggi” atau “menyerupai bukit”.
Setelah Islam
Karaeng Matoaya, I Mallingkai Daeng Mannyonri, Raja Tallo VII, akhirnya memeluk Islam, pada 22 September 1605 lewat sentuhan Datuk Ri Bandang.
Pentingnya memperdalam ilmu agama yang baru dianut, juga sebagai penguatan dan penyebaran agama di wilayah sekitar, Karaeng Matoaya mengutus dua putranya memperdalam agama Islam di Kerajaan Luwu, kerajaan yang pertama kali memeluk Islam di Sulawesi. Salah satu putranya yang diutus adalah Daeng Tidung.
Tiga tahun memperdalam ilmu agama, sekembalinya dari Kerajaan Luwu, Daeng Tidung tidak melanjutkan perjalanan untuk masuk ke Istana Kerajaan Tallo. Ajaran agama yang diterima pemuda saleh ini, menekankan untuk membagikan ilmunya seluas mungkin. Kehidupan di Istana Kerajaan Tallo akan menjadikannya manja, serba diurus, dan serba terbatas. Juga membatasinya berinteraksi langsung dengan masyarakat.
Daeng Tidung kemudian memutuskan tidak masuk ke istana. Dia terus berjalan ke arah selatan dan memilih berhenti di sebuah kampung kemudian memutuskan untuk menetap di kampung tersebut.
Berulang-ulang utusan dari Kerajaan Tallo datang menjemputnya, bahkan sang ibu yang penuh rindu, datang menemuinya, membujuknya, namun dengan segala kerendahan hati, Daeng Tidung menolak untuk menetap di istana kerajaan.
Setiap kembali dari membujuk Daeng Tidung, sang ibu selalu berhenti di sebuah daratan yang agak tinggi, terdapat pohon yang rimbun, sembari memandangi dengan penuh nakkuk atau rindu kampung tempat tinggal Daeng Tidung. Tempat yang selalu disinggahi rombongan sang ibu setiap kali mengunjungi Daeng Tidung, kemudian dikenal dengan nama: Panakkukang.
Di kampung kecil inilah Daeng Tidung mengajar dan menyebarkan ilmu agama. Masyarakat sekitar, datang untuk belajar kepada Daeng Tidung. Kampung kecil ini sedikit demi sedikit mulai berkembang. Murid Daeng Tidung mulai bertambah. Daeng Tidung dan muridnya sesekali keluar, ke daerah, menyebarkan agama Islam.
Kampung kecil inilah yang dikenal dengan nama Kampung Tidung, melekat dari nama Daeng Tidung, yang sebutan akrabnya adalah Daeng Ri Tidung.
Selanjutnya, terjadi pergolakan politik di tanah Sulawesi. Pada 1608, beberapa pasukan gabungan Kerajaan Bugis, mengalahkan Kerajaan Gowa. Pada tahun berikutnya, semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaan. Kerajaan Sidenreng dan Soppeng takluk pada 1609, kemudian Wajo 1610, dan Bone pada 1611. Perang Islam di tanah Bugis saat itu disebut Musu Assalengeng atau Perang Islam. Penerimaan Islam oleh para raja itu kemudian diikuti masing-masing rakyatnya.
Derap penyebaran Islam yang dijalankan Karaeng Matoaya atau Sultan Awaluddin (Raja Tallo) dan Sultan Alauddin (Gowa) menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo sebagai motor penyebaran Islam. Pada masa itu, hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan memeluk agama Islam.
Makassar pun menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara bagian timur. Dari Makassar, agama Islam menyebar sampai Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Tidung sebagai salah satu sentra penyebaran agama, melahirkan tokoh-tokoh agama yang kemudian diutus ke berapa daerah menyebarkan Islam. Selain memperkuat segi spritual, juga ditopang dengan memperdalam ilmu bela diri, seperti mancak atau pencak silat.
Munculnya tokoh agama, sufi, cendekia, ahli beladiri sehingga lahir seorang yang disebut dengan I Lo’moka Ri Tidung. Lo’moka memiliki keahlian semua itu. Maka tak jarang, Lo’moka memiliki kekuatan spiritual, tidak seperti manusia lainnya. Misalnya, ada yang melihatnya tengah berdakwah di suatu daerah namun terlibat pertempuran di tempat lain.
Pemahaman ilmu agama yang tinggi serta ilmu beladiri yang mumpuni, Lo’moka selalu ditunjuk sebagai panglima perang. Sebagaimana kebiasan dalam pasukan perang, selalu diikuti dengan bendera atau panji-panji perang.
Perang Makassar
Pemerintah Hindia-Belanda (VOC) berusaha menaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo. Ini adalah satu kerajaan di Nusantara yang tergolong sulit ditaklukkan. Akhirnya Belanda menggunakan politik adu-domba seperti biasa. Mereka tahu beberapa kerajaan yang pernah ditaklukkan oleh Gowa-Tallo masih menyimpan dendam dan luka. Belanda kemudian mengajak kerajaan itu untuk memerangi Gowa-Tallo.
Terjadilah Perang Makassar 1666-1669. Sultan Hasanuddin, dengan pertimbangan tidak ingin melihat korban terus berjatuhan dan mempertimbangkan siasat berikutnya, menandatangi Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667.
Meski demikian, beberapa tokoh masih melakukan perlawanan-perlawanan hingga 1669. Beberapa karaeng meninggalkan Gowa kemudian memilih melanjutkan perang di mana pun Belanda berada. Mereka ke Jawa, Sumbawa, Kalimantan, Sumatera, bahkan Malaysia dan Siam melanjutkan perlawanan.
Bila melihat perannya, tentu Lo’moka dan pasukannya di Tidung, ikut dalam pertempuran ini. Perang habis-habisan ini mengakibatkan para bura’ne barania, lelaki pemberani banyak yang gugur. Tentu termasuk dari Kampung Tidung.
Ketika Gowa-Tallo jatuh, VOC dan balatentaranya kemudian melakukan bumi-hangus di Gowa-Tallo dan sekitarnya. Benteng, rumah adat, kampung-kampung dan rumah penduduk banyak dibakar untuk menjatuhkan mental masyarakat Gowa-Tallo.
Sejak Gowa-Tallo jatuh, tidak ada lagi perlawanan. Raja yang memerintah Gowa-Tallo adalah raja yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia-Belanda. Meski hidup dalam penjajahan, masyarakat hidup datar-datar saja. Tidak ada pemberontakan. Masyarakat Gowa-Tallo dikenal patuh kepada rajanya.
Pendudukan Jepang
Pada 1942, Jepang mulai menjajah di Indonesia. Datang dan mengaku sebagai “Saudara Tua”, Jepang disambut baik dengan perkiraan akan banyak membantu. Pasukan pribumi eks-NICA Belanda, ditahan oleh Jepang dan dijadikan pekerja kasar. Rakyat biasa tetap beraktivitas namun di bawah tekanan. Tak jarang juga mengalami penyiksaan dan kerja paksa secara keji.
Pada 1945, setelah mengalami kekalahan di beberapa medan pertempuran oleh Jerman, Inggris, dan Amerika pada Perang Dunia II, penjajah Jepang di Indonesia mulai melunak. Jepang menarik hati dengan mengajak pemuda pribumi usia 16-25 tahun untuk dilatih kemiliteran, dilatih beladiri dan taktik bertempur. Tentu saja dilatih menggunakan senjata api dan pertarungan jarak dekat.
Tujuan Jepang adalah selain untuk memperkuat posisinya dalam melawan Sekutu, juga mengabarkan bahwa kalau Jepang kalah maka Belanda akan kembali menjajah Nusantara.
Para pemuda Indonesia, seperti tertuang dalam buku Sejarah Perjuangan Indonesia, disebutkan mendapat banyak pengetahuan dan kemampuan dari pihak Jepang, seperti para mantan Peta, Heiho, Seinendan, dan Keibodan. Hal ini menjadikan mereka tangguh dalam hal strategi peperangan, khususnya taktik gerilya. Terlebih lagi penguasaan wilayah mereka terhadap daerahnya sendiri.
Beberapa pemuda di tanah air ikut memanfaatkan latihan militer tersebut. Juga beberapa pemuda dari Kampung Tidung.
Tidak cukup satu tahun mendapat latihan, Jepang kemudian mengaku kalah setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Rakyat bersuka-cita. Pekik “Merdeka” di mana-mana. Kehidupan langsung berubah. Masyarakat mulai beraktivitas dengan suasana baru, tidak ada penjajahan.
Namun tidak bagi Belanda dan Sekutunya, yakni Inggris dan Australia. Mereka melihat Indonesia masih lemah. Mereka kembali ingin menjajah Indonesia.
Belanda Datang Lagi
Hanya sebulan lebih, yakni 24 September 1945, di bawah komando Brigadir Jenderal Dougherty, tentara Australia mendarat di Makassar. Tentara NICA, pimpinan Mayor Wagner yang membonceng Sekutu, juga ikut mendarat. NICA ingin memanfaatkan Sekutu agar kembali menguasai Indonesia.
Pasukan NICA mengambil kesempatan, mereka diam-diam merekrut kembali bekas tawanan Jepang untuk kembali menjadi tentara NICA. Tentu kesempatan ini disambut oleh mereka yang oleh pejuang Makassar diistilahkan sebagai “Balanda Lekleng” atau orang Belanda berkulit hitam yang menjadi pasukan tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL).
Mendengar kabar kedatangan Sekutu, masyarakat bergolak. Ketenteraman yang baru sekejap dirasakan, akhirnya terusik lagi. Kaum pemuda bangkit. Barisan pemuda terhimpun dalam Pusat Nasional Pemuda Indonesia (PNPI). Pemuda-pemuda palang merah ikut membantu. Para pemuda eks Heiho juga digalang. Ada 25 kelompok pemuda yang tergabung dalam PNPI ketika itu.
Ada juga kelompok yang paling muda, yakni barisan sekolah menengah pertama dan putus sekolah akibat pendudukan Jepang. Barisan muda yang masih “berdarah panas” inilah yang cukup memusingkan tentara KNIL. Mereka dipimpin oleh Robert Wolter Monginsidi.
Kampung Tidung juga meradang mendengar kabar kedatangan Sekutu. Muhammad Yusuf Daeng Ngawing, sebagai tokoh masyarakat Tidung menggalang kekuatan, berkonsolidasi dengan kampung yang lain seperti Tamamaung, Masale, Mappala, Karunrung, Rappocini, Cilallang, Bontocinde, Pampang untuk segera membentuk kekuatan. Dia memacu kudanya yang bernama Kallaba menemui tokoh masyarakat setempat.
Mepetnya waktu, sulitnya berkomunikasi, upaya itu tidak sempat terwujud. Akhirnya lebih berkonsentrasi di Kampung Tidung, mempersiapkan sebagai basis perjuangan agar menjadi konsentrasi penyerangan ke pusat kota Makassar namun tidak dikatahui tentara KNIL. Termasuk mempersiapkan strategi dan persandian-persandian yang hanya diketahui secara khusus agar pergerakan mereka tidak terbaca.
Putranya, Abdullah Daeng Sirua, segera menghimpun pemuda untuk membentuk kekuatan. Pemuda dengan semangat Daeng Ri Tidung, yakni kuat dalam menjalankan perintah agama, rela berkorban, dan memiliki keahlian beladiri, pencak silat. Terhimpunlah pemuda seperti: Abdul Rauf Daeng Nompo, Rappung Daeng Mase, Padda, Mappa Daeng Nassa, Abdul Djalil Daeng Muntu, Rappung Daeng Mangka, Lau Daeng Ngerang, Jumakkara Daeng Buang, Loddeng Daeng Mangung, Sideng Daeng Ngaseng, Mannalassi Daeng Nambung, Nonci Daeng Sau, Mangngassengi Daeng Nambung, Bambo Daeng Ngemba, Hafsah Daeng Ngugi, Kamaria Daeng Saming, dan lainnya.
Abdullah Daeng Sirua (kiri). Bersama saudara dan beberapa sahabatnya, pada tahun 1970-an (kanan).
Semasa perjuangan ini, Kampung Tidung menjadi basis pejuang seperti Wolter Monginsidi, Muolwy Saelan, Emmy Saelan, Raden Endang, dan Muliyati. Setelah mereka melakukan penyergapan di kota, Monginsidi dan kawan-kawan sering menyusup ke Kampung Tidung, beristirahat, diberi makan, kemudian segera pergi lagi.
Strategi Arak
Berkali-kali tentara hitam Belanda atau tentara KNIL, mendekati Kampung Tidung yang dikelilingi persawahan di bagian utara, timur, dan barat. Di bagian utara, sekitar Masale, Nipanipa, dan Tamamaung, terdapat banyak pohon nipah yang menghasilkan tuak.
Putra kedua Yusuf Daeng Ngawing, Abdul Djalil Daeng Muntu, mengisahkan, “Beberapa pejuang diminta menyusup ke Masale dan sekitarnya mengambil tuak. Tugasnya hanya berjaga-jaga. Ini dengan persandian khusus, yang hanya diketahui beberapa pejuang.”
Posisi Kampung Tidung yang dikelilingi persawahan sangat menguntungkan pejuang di Tidung. Akan sangat mudah mendeteksi tentara KNIL yang datang. Beberapa pejuang yang berjaga di pinggir kampung akan mudah berkoordinasi dengan pejuang yang mengintai di tengah persawahan dengan suara dan sandi khusus.
Begitu tentara KNIL terlihat mengarah ke Kampung Tidung, seorang pejuang yang beraktivitas sebagai petani biasa, segera berjalan mengarah ke tentara tersebut sembari memikul bambu berisi tuak. Begitu dihadang, tuaknya dirampas, dan itulah yang menjadi tujuan pejuang.
Tentara KNIL sangat menyukai minuman keras tuak beraroma menyengat ini. Mereka kadang tidak melanjutkan perjalanan untuk patroli, lantaran asik menikmati menuman keras tersebut hingga mabuk. Kesempatan ini digunakan untuk melucuti mereka di tengah sawah tanpa mengetahui siapa pelakunya.
Tentara KNIL itu, lanjut Abdul Djalil, tidak jitu dalam menembak. Mereka hanya memegang senjata untuk mengancam-ancam. Apa lagi kalau sudah terpengaruh minuman keras. “Hanya suaranya yang besar menggertak. Kalau mereka berpatroli bertiga, biasanya mereka ciut meski berpapasan dengan seorang petani. Dari kejauhan sudah melepaskan tembakan, menakut-nakuti,” ujarnya, seperti pernah dikisahkan kepada penulis.
Penangkapan Demi Penangkapan
Namun peranan Kampung Tidung sebagai markas pejuang, akhirnya bocor juga. Salah satu yang membocorkan adalah Paccallayya dan kaki tangannya. Paccallayya adalah orang tertentu yang ditunjuk oleh Belanda untuk mengawasi aktivitas di suatu wilayah.
Pacallayya yang membuat Monginsidi terendus di Kampung Tidung sehingga bersembunyi di sumur di depan rumah Abdullah Daeng Sirua ketika tentara KNIL masuk menggeruduk kampung.
Mantan perawat Rumah Sakit Stella Maris, Salmah Soehartini atau dikenal dengan nama Emmy Saelan, yang selama ini berperan sebagai mata-mata dengan tugas mencari tahu rencana Belanda, akhirnya ketahuan aktivitasnya. Juga ketahuan bahwa dia membantu pejuang dengan memberi perawatan kepada pejuang yang terluka, termasuk di Kampung Tidung.
KNIL lantas memburu Emmy Saelan. Emmy Saelan bersama kakaknya, Moulwy Saelan mengarah ke Polongbangkeng, Takalar, menuju markas utama pejuang. Dari tempat ini, Emmy Saelan ditugaskan kembali ke Makassar mencari informasi.
Sebelum masuk ke pusat kota, 20 Januari 1947, Emmy Saelan bermaksud singgah di Kampung Tidung. Ternyata pasukan KNIL sudah mengintainya. Terjadi penyergapan dan pertempuran sengit di sekitar Tidung. Emmy Saelan terdesak, oleh pejuang Kampung Tidung dan kelompok pejuang lainnya, Emmy Saelan dikawal hingga menyingkir ke Kassikassi. Beberapa pejuang akhirnya terdesak dan gugur.
Emmy Saelan kemudian mencabut granat sebagai upaya terakhir. Perannya sebagai mata-mata sangat vital. Informasi siapa-siapa saja para pejuang dan di mana markasnya, ada pada dirinya. Tentu saja tentara KNIL sangat bernafsu untuk menangkapnya.
Emmy Saelan yang sudah terdesak, sudah dikepung oleh tentara musuh dan tidak ada peluang lagi untuk lolos, akhirnya mengambil keputusan heroik: dari pada ditangkap Belanda, lebih baik mati. Emmy kemudian memilih meledakkan granat tersebut, menghancurkan tubuhnya. Beberapa pasukan musuh yang ada di dekatnya juga tewas.
Satu bulan kemudian, giliran Monginsidi ditangkap, yakni pada 28 Februari 1947 namun berhasil kabur. Belanda kembali menangkapnya hingga dieksekusi mati pada 5 September 1949.
Pada Agustus 1947, giliran Abdullah Daeng Sirua ditangkap. Kisah penangkapan ini dituturkan Hafsah Daeng Ngugi, adik Abdullah Daeng Sirua, kepada penulis.
“Siang, tentara KNIL masuk ke Kampung Tidung melakukan penggeledahan, mencari para pejuang. Tibalah di rumah kami. Tentara itu tidak mengenali Abdullah Daeng Sirua. Bahkan ditanya di mana para pejuang. Sementara ditanya begitu, tiba-tiba Sirua minta izin untuk buang air kecil. Beberapa orang KNIL mengikutinya. Sirua mengencingi lubang pembuangan sampah yang ternyata disimpan beberapa senjata. Tujuannya untuk mengelabui. Belanda curiga. Akhirnya mereka memeriksa lubang tersebut. Ternyata terdapat beberapa pucuk senjata. Sirua pun langsung dipukul dan diikat kemudian dibawa pergi.”
Abdullah Daeng Sirua diseret menggunakan kendaraan. Tentu tujuan pasukan KNIL melakukan ini adalah untuk menjatuhkan mental perlawanan warga Tidung.
Abdullah Daeng Sirua ditahan dipenjara Pandangpandang. Beberapa hari dia dipenjara dan mengalami penyiksaan. Suatu subuh, dia direncanakan akan dieksekusi. Sirua memanfaatkan untuk salat, berzikir, dan berdoa.
Hari eksekusi. Petugas tahanan lantas datang menjemputnya. Tapi justru yang dijemput tahanan lain, ditutup kepala dan wajah, digiring keluar penjara. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan. Eksekusi sudah dilakukan.
Sirua mengira kini gilirannya. Waktu berlalu, menunggu, dia tidak dijemput untuk eksekusi.
Sesorang lantas datang, berpakaian KNIL, membawanya keluar, lantas menunjukkan jalan untuk melarikan diri. Sirua selamat.
Di Kampung Tidung ramai mendengar kabar bahwa Sirua telah dieksekusi. Yusuf Daeng Ngawing, sang bapak, terlihat masih tenang. Beberapa keluarga sudah menangis ingin segera menjemput jenazah Sirua.
Namun Yusuf Daeng Ngawing menolak untuk menjemput jenazah putranya. “Anak saya seorang lelaki. Tidak ada dalam perasaan saya, anak saya mati terbunuh,” ujarnya. “Sirua belum meninggal dunia,” tegasnya.
Tingginya upaya pencarian kepada para pejuang, sehingga beberapa pejuang memilih berpencar dan bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan ada yang berbulan-bulan sembunyi di lumbung padi atau loteng tempat menyimpan padi.
Setelah Konferensi Meja Bundar dan Belanda betul-betul angkat kaki dari Indonesia pada 2 November 1949, sirene, kentongan dipukul oleh warga pertanda Indonesia benar-benar telah merdeka.
Para pejuang Kampung Tidung satu per satu keluar dari persembunyiannya, dengan tampang menakutkan: rambut gondrong, brewok, kuku panjang, dan wajah yang pucat karena berbulan-bulan tidak terpapar matahari.
Ada syair tentang Kampung Tidung:
Caddi-caddi Butta Tidung, mingka lompo siri tongi, appaenteng bundu, nataena sanjatana.
Kecil-kecil Kampung Tidung, namun besar harga dirinya, mengobarkan perang, padahal tidak punya senjata.
Creamy Ebony
https://hotwifexxx-ass-sex.fetish-matters.net/?susan-alize