Nur Alim Djalil
Jari kelingking kanan saya celupkan ke tinta sebagai bukti telah mencoblos. Seperti selebriti yang lagi disorot kamera, saya memperlihatkan jari kepada orang-orang kemudian melambaikan tangan. Saya malah memberikan henpon kepada petugas tinta agar mengambil gambar. Saya bergaya.
Saya merasa lega telah memberi hak pilih. Saya ingin menjadi bagian warga negara yang baik, datang ke tempat pemungutan suara, memberikan pilihan. Ini pesta demokrasi. Ini pesta rakyat. Sah-sah saja kalau mau narsis. Ini satu kali dalam lima tahun memberi suara untuk negeri. Ya, satu suara untuk satu harapan: lebih baik secara menyeluruh.
Bulan-bulan sebelumnya, Saya berpikir untuk tidak memilih. Banyaknya pemberitaan tentang wakil rakyat yang terindikasi, terduga, tersangka, dan terpidana korupsi membuatnya kecewa. Saya takut memilih seseorang yang kemudian membuatnya terjerumus ke tindakan korup. Saya khawatir terlalu besar harapan yang diberikan kepada wakil rakyat sehingga mereka tak sanggup memikulnya.
Saya juga kadang tidak tahu diri karena terlalu besar harapan yang digantungkan kepada wakil rakyat. Saya maklum keterbatasan wakil rakyat untuk berbuat banyak sebab itu sangat manusiawi. Sama maklumnya saya bila janji yang diberikan para wakil rakyat selama kampanye banyak yang tidak terealisasi. Sebab, yang berjanji itu manusia. Namun sejak awal, janji itu jangan main-main. Tapi memang series untuk diwujudkan.
Saya juga bersyukur ada warga negara yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Diam-diam saya salut. Mereka adalah para pemberani. Mereka siap menghabiskan waktu untuk kepentingan orang lain, termasuk kepentingan saya. Mereka siap maju di gelanggang negeri ini sehingga pantas diacungi jempol. Terlebih pada zaman sekarang. Tidak mudah menjadi wakil rakyat. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang besar.
Jari kelingking saya perlihatkan kepada orang-orang pertanda sudah memilih. Saya sudah menitipkan amanah dan semoga benar-benar terpilih. Tadi ketika mencoblos saya awali dengan membaca basmalah untuk mempertegas bahwa amanah yang saya berikan tidak saja atas nama diri sendiri tapi juga Sang Pencipta. Duhai, sungguhlah berat amanah yang mengatasnamakan rakyat.
Saya teringat empat khalifah idola saya. Saya teringat ungkapan Abubakar Ash-Shiddiq ra bahwa para pemegang amanah itu mesti mengedepankan kejujuran. Sedangkan dusta merupakan pengkhianatan.
Juga Umar bin Khattab ra menegaskan bahwa hendaklah orang yang mendapat amanah untuk rakyat itu memiliki empat sifat, yaitu kelembutan yang tidak membuatnya lemah, ketegasan yang tidak membuatnya kasar, kesederhanaan yang tidak membuatnya bakhil, dan kedermawanan yang tidak menghambur-hamburkan harta.
Sedang Utsman bin Affan menegaskan tiga hal, meneruskan kebaikan para pendahulu yang sudah dimulai dan sepakati, memulai kebaikan yang orang lain belum lakukan, menahan diri serta mencegah rakyat kecuali dari apa yang berhak mereka dapatkan.
Saya juga teringat pesan Ali bin Abi Thalib ra, yang ditulis George Jordac, bahwa setelah terpilih, janganlah sekali-kali menjauh dari masyarakat karena hal itu akan membuat buta dengan urusan mereka. Sebagai manusia biasa, mereka tidak dapat menentukan pandangan yang tepat atas sesuatu bila jauh dari penglihatan.
Lebih jauh Ali berpesan, bila terpilih sebagai wakil masyarakat atau pemimpin, orang-orang yang selama ini berada di sekitar Anda, biasanya suka memanfaatkan posisi Anda. Hindarilah kecenderungan semacam itu. Prinsip ini akan mencegah pengrusakan kepentingan orang lain dan menyelamatkan diri Anda dari celaan Allah Subhanahu Wata’ala dan manusia.
Maka saya menghalau jauh-jauh rasa pesimis yang mengendap dalam hati akan calon pemimpin dan wakil rakyat kali ini. Juga menghalau bayangan bahwa mereka tidak jauh beda dengan sebelumnya. Tidak, saya menyimpan harapan besar. Saya optimis. Makanya saya mencoblos.