Nur Alim Djalil
Ketika China Southern Airlines (CZ-388) mendarat mulus di Bandara Internasional Bai Yun, Guangzhou, Senin, 15 Desember 2008, pukul 13.21, yang paling pertama saya lihat adalah sepasang mata istri saya. Baru kali ini saya melihat matanya berbinar-binar seperti itu. Sejak pesawat diumumkan akan segera mendarat sehingga jalan layang, gedung-gedung pencakar langit, sungai, dan perumahan tampak begitu jelas, ia tak henti-hentinya bergumam kagum. Ia memandang keluar jendela, melihat suasana bandara yang gemerlap dan sangat modern dengan arsitektur futuristik.
Di depan Sun Yat-Zen atau Zhongshan Memorial Hall, sebuah bangunan berbentuk segi delapan di Gungzhou, dibangun pada 1929-1931, dari dana yang dikumpul dari masyarakat untuk mengenang Sun Yat-zen, pemimpin besar Tiongkok.
Bai Yun, Guangzhou ternyata tak mau kalah dengan bandara lain dalam soal arsitektur. Bentuk bandaranya seperti kelopak bunga. Bandara ini berubah modern sejak 2004. Sekarang masuk kategori bandara tersibuk di dunia.
Ketika pesawat itu benar-benar berhenti, lampu tanda keselamatan dipadamkan, kami tak sabar untuk meninggalkan pesawat. Saya meraih ransel, mempersiapkan paspor. Penerbangan dari Jakarta menempuh 4 jam 45 menit seakan tidak begitu terasa. Rasa letih sirna sudah.
Kami sungguh bersyukur dapat berkunjung ke tanah China. Ini merupakan salah satu negeri yang sering kami sebut untuk dituju, suatu waktu. Alhamdulillah terkabul.
Lepas dari garbarata, masuk ke ruang bandara, hawa dingin langsung menyergap. Suhu berkisar 10-18 derajat celcius. Sangat dingin bagi kami yang berasal dari daerah tropis. Kami saling hangatkan tangan sementara tangan yang lain kami benamkan di saku celana.
Guangzhou menyuguhkan suasana kota yang sungguh indah. Guangzhou adalah ibukota Provinsi Guangdong, merupakan kota terbesar di China selatan. Luasnya 16.000 km persegi dan menjadi tempat tinggal bagi 6,7 juta warganya.
Kota ini merupakan terbesar di dunia pada awal abad ke-19. Wilayahnya sangat khas, dibelah oleh Sungai Mutiara. Juga berada di tepi laut sehingga menjadi salah satu kota pelabuhan yang ramai. Dari tepi laut, dapat terlihat gemerlap Hong Kong 182 km di seberang sana. Lebih istimewa lagi, merupakan salah satu kota di China yang memiliki gunung yang terletak di tengah kota. Gunung ini merupakan sumber air minum untuk penduduk kota.
Selain berkembang menjadi kota dunia, Guangzhou juga dikenal sebagai kota bunga. Inilah daya tariknya. Aneka macam bunga dapat ditemukan. Penduduknya benar-benar terinspirasi bunga dan keindahan.
Beberapa bulan sebelumnya, saya menelusuri sejarah kota ini dengan melakukan pencarian di internet. Saya temukan bahwa Guangzhou merupakan kota tua. Dulu bernama Kanton. Nama Kanton biasa saya temukan dalam film-film China klasik dengan gambaran perebutan kekuasaan dari para pendekar silat yang mumpuni.
Kota ini berdiri sekitar 214 SM dan tergolong makmur. Perdagangan dikelola pedagang Arab dan Hindu, selain China asli tentu. Kota ini pernah dibanjiri penduduk China dari kota lain lantaran menghindari serangan Mongol di utara pada abad 13-14.
Dulu, perang sering melanda kota ini. Selain perang klasik menyangkut penggulingan dinasti, juga yang tergolong besar adalah Perang Candu. Dua kali kota ini dilanda Perang Candu. Pertama pada 1839-1842 melawan Inggris, kedua pada 1856-1861 melawan Prancis. Penduduk Guangzhou tergolong gigih menyita serta menghancurkan candu selundupan Inggris-Prancis lantaran dinilai memperlemah semangat kerja warga.
Kondisi yang berat sering dialami kota ini. Selain memerangi candu, kerap pula terjadi pertikaian pada dinasti yang berkuasa. Akhirnya rakyat kehilangan arah lantaran pemimpin mereka sibuk dengan urusan kekuasaan. Meletuslah pemberontakan Tai Ping (1820-1864) lantaran kecewa kepada dinasti yang berkuasa.Perlawanan itu berada pada puncaknya ketika dipimpin Sut Yat Sen dengan gerakan di bawah tanah pada 1885.
Setelah Perang Dunia II, Pemerintahan Komunis mengambil alih kekuasaan. Pertumbuhan kota mengalami kemunduran. Perselisihan berlanjut. Termasuk dalam wujud Revolusi Kebudayaan pada 1966-1967. Setelah itu, Guangzhou perlahan-lahan tumbuh, kemudian melesat menjadi kota dunia yang modern.
Karena itu, kota ini terbangun dengan perpaduan kota tua dan modern. Bangunan tua terkadang diselingi bangunan modern dan pencakar langit. Keseimbangan yang terjaga. Kota ini semakin khas lantaran memiliki sungai yang cukup panjang dan terjaga. Selain itu, masih ditemukan satu-dua penduduk Guangzhou dengan pakaian tradisional yang gombrang, seperti yang biasa saya lihat dalam film-film China klasik.
Guangzhou berubah menjadi kota yang penuh daya tarik. Terdapat pasar bunga yang luar biasa ramai. Warna-warni di mana-mana. Saat ini, nuansa menjelang tahun baru juga sudah mulai semarak. Beberapa mal dan pertokoan mempersiapkan paket khusus. Saya tak tahu khusus yang bagaimana karena tertulis dalam bahasa China. Tapi yang saya tangkap adalah persiapan perayaan tahun baru.
Kami sempat makan di daerah ketinggian di Bai Yun. Warga Guangzhou ternyata pemakan apa saja. Beberapa jenis makanan disantap. Tempat itu tersedia buaya, ular berbisa, katak, berbagai jenis serangga yang siap disantap. Terserah mau pesan apa.
Saya juga menyadari bahwa perangai orang Guangzhou, sebagian masih cukup kasar. Kadang berteriak-teriak. Kalau mengucapkan perasaan cinta saja kadang berteriak. Dalam melayani, terkadang masih cukup kasar, menyentak piring bekas sehingga tertumpah di meja.
Demikian pula dalam hal jual-beli. Terkadang kalau ada barang yang sudah dipegang, sudah diterjemahkan mau dibeli. Sering pula mereka mengusir pembeli kalau diangap tidak cocok. Saya diingatkan, kalau mau belanja, harus tega menawar. Pokoknya harga barang harus ‘ditebang habis’. Tapi ada juga penjual yang pembawaannya sangat lembut dan santun.
Warga Guangzhou tergolong doyan makan. Makannya cepat sekali. Restoran dan rumah makan selalu ramai pengunjung.Seperti yang saya lihat di Di Shi Fu Road, Liwan District. Di sini boleh dikata pusatnya belanja dan makan.
Warga Guangzhou, seperti di Makassar, ternyata juga suka pergi ke kedai makan. Tapi mereka lebih dominan minum teh plus kue ringan.Ada juga yang menyantap sup. Sup ternyata santapan favorit warga di sini.
Beberapa makanan ala Amerika juga terdapat di kota ini. Misalnya Mc Donald. Tapi kalau menyebut Mc Donald, di sini tidak dikenal. Lidah mereka ternyata menyebutnya Meitanglao.
Lalu lintas di Guangzhou tergolong padat. Sering terjadi kemacetan. Padahal pemerintah setempat sudah berusaha memperbaiki sistem transportasi. Misalnya dengan membangun jalan layang sampai tiga tingkat. Kendaraan bermotor pun ‘haram’ beroperasi di kota ini. Tak sebiji pun ada. Sebab, sejak 1 Januari 2007, dikeluarkan aturan tak boleh ada kendaraan sepeda motor. Alasan pemerintah agar tidak terjadi kemacetan, polusi, dan tindak kriminalitas.
Saya teringat Indonesia. Pantas semakin macet dan krodit karena semua sepeda motor ‘dibuang’ ke negeri ini.