Nur Alim Djalil
Saya tetap saja tertawa-tawa setiap kali mendengar cerita ini: seorang pemuda yang emosional menantang siapa saja berkelahi sembari mengacung-acungkan sebilah badik. Orang yang ada di dekatnya menghindar takut. Keadaan tersebut membuat si pemuda semakin garang. Teriakannya kencang. “Ayo, siapa berani!”
Tiba-tiba muncul seorang pria, berbadan besar, sangar, unjuk jari siap meladeni tantangan pemuda tadi. Melihat si penantang berperawakan lebih menakutkan, si pemuda ciut nyalinya, kemudian dengan suara pelan sembari mengacungkan badik, mengatakan, “Ayo, siapa punya badik yang hilang? Ini punya siapa…?”
Cerita lain yang saya suka adalah seorang anak kecil yang sering menghadapi tiga orang pengganggu. Para pengganggu itu terkadang berbuat kasar. Uang dan makanan anak kecil itu selalu diminta, malah dirampas.
Suatu hari, anak itu diganggu lagi. Kali ini anak itu berpikir untuk harus menghadapi mereka. Seketika anak itu membuat garis di tanah, mundur beberapa langkah, kemudian dengan penuh percaya diri berkata, “Ayo, coba lewati garis itu!”
Ketiga pengganggu itu terkejut. Tidak terlintas mereka akan menerima reaksi seperti itu. Mereka saling pandang. Kemudian salah seorang di antaranya, yang bertubuh gendut, melewati garis itu dengan penuh percaya diri. Wajahnya merah penuh amarah. Sebelum si gendut itu menyeruduk, buru-buru anak kecil itu tersenyum sembari berkata, “Nah, sekarang kita berada di pihak yang sama bukan?”
Si gendut bengong. Ia serba salah. Perasaannya tidak siap menerima kenyataan tersebut. Berbeda dengan anak kecil itu yang mampu mengolah kecerdasan dan cara berpikirnya dalam waktu yang tepat. Ia bisa mengendalikan situasi dalam keadaan genting. Benar, setelah melewati garis itu mereka berada di pihak yang sama secara fisik, meskipun secara emosional belum. Artinya, tidak ada benturan apa pun.
Saya menarik pesan dari kedua cerita tersebut. Tentang si jagoan yang mengacung-acungkan sebilah badik dan menantang setiap orang, menunjukkan bahwa ketakutan itu sesungguhnya milik siapa saja. Kita terkadang “merasa kuat” dengan sesuatu yang kita miliki. Padahal semakin kita tunjukkan dan kita pamerkan semua itu, sebenarnya yang terlihat adalah kelemahan kita.
Kisah kedua tentang anak kecil, sesungguhnya mengenai keseharian kita. Keadaan tersebut menyangkut atasan dan bawahan, guru-murid, manajer-buruh dan lain-lain.
Terkadang yang memiliki “kekuasaan” seperti atasan, guru, manajer, sering dianggap sebagai “pengganggu bertubuh besar” yang diharapkan dapat menyeberang ke tempat yang sama agar bawahan, murid, buruh bisa saling mengerti bahwa mereka berada di pihak dan tujuan yang sama – bukan berada di pihak yang saling berseberangan. Dengan demikian keduanya memahami bahwa cara terbaik untuk menang dan maju adalah bila keduanya berada di dalam garis yang sama.