Percik: Nur Alim Djalil
Selalulah pergi ke suatu tempat,” demikian penekanan saya kepada mahasiswa, setiap awal perkuliahan. Saya meminta agar mereka selalu berjalan — dari satu tempat ke tempat yang lain, sejauh dan sesering mungkin. “Jangan banyak tinggal di kamar, membayangkan dunia yang selama ini diceritakan orang lain. Tapi ceritakanlah dunia yang telah kamu pijak dan lihat sendiri.”
Selalu saya katakan bahwa sepatu yang mereka gunakan, bagian bawahnya harus terus dikurangi ketebalannya dengan banyak berjalan. “Beri hak kepada sepasang kaki kalian untuk melangkah sejauh dan sesering mungkin. Berilah hak kepada mata, pendengaran, dan seluruh indera kalian untuk banyak bersentuhan dengan alam sekitar,” begitu saran saya.
“Sudah berapa usia kalian?” kadang saya bertanya demikian.
Mereka menyebutkan usianya yang rata-rata di bawah 20 tahun. Masih sangat muda. Masih sangat penuh harapan.
“Kalian pasti tahu embun,” ucap saya kemudian. “Tapi pertanyaan berikutnya, kalian tahu dari mana?
Mereka menjawab tahu – dengan serempak.
“Dari mana?”
Mereka umumnya terdiam. “Dari bacaan? Dari kamus? Dari apa yang diceritakan orang lain kemudian kalian sempurnakan dengan imajinasi?”
Mereka terdiam.
“Tidakkah kalian pernah mengenal embun dengan bangun pagi, kemudian ke tempat yang berumput, berembun, kemudian melepaskan alas kaki kalian, lantas memijaknya – merasakan kelembutan rumput yang berembun dengan permukaan kulit kaki kalian?”
“Tapi di Makassar sudah semakin kurang rerumputan. Sudah menjadi beton,” satu-dua mahasiswa ada yang protes demikian.
“Karena itu, seperti yang saya katakan tadi, pergilah ke suatu tempat…!”
Saya mengingatkan bahwa pada usia pencarian seperti sekarang, seharusnya mereka sudah punya gambaran mengenai apa yang semestinya mereka tuju. Mereka sudah bisa melihat bagaimana kehidupan beberapa tahun ke depan. Apa yang harus mereka kerjakan nanti. Sebaiknya tinggal di mana dan bagaimana lingkungan mereka. Tinggal mereka wujudkan sedikit demi sedikit dengan menambah ilmu di bangku kuliah. Mereka harus menyelesaikan prosesnya setahap demi setahap untuk berada di kehidupan yang sudah mereka bayangkan itu.
Langkah pertama adalah menyelesaikan kuliah secepat mungkin, sembari membangun kemampuan individu dengan banyak berinteraksi, menyerap, mengenal lingkungan sekitar. Cara yang sederhana, mereka harus banyak keluarga kamar – meninggalkan zona nyaman dengan melakukan perjalanan; menyerap pengalaman positif sebanyak mungkin.
Kamar hanyalah tempat untuk beristirahat sejenak, memulihkan kekuatan tubuh, menyusun perencanaan, kemudian berjalan lagi.
Benar saat ini mereka adalah generasi internet dan media sosial. Semua bisa dihadirkan hanya dengan baring-baring di kamar. Hampir semua peristiwa bisa kita saksikan. Hampir semua tempat bisa kita jelajahi. Hampir semua orang penting kita bisa ketahui kehidupannya. Dan itu tidak perlu bersusah-susah, cukup dengan tablet di tangan sembari berdiam diri di kamar.
Dunia tidak selebar ukuran kamar. Kita harus dinamis. Tidak statis. Sebab hidup itu adalah beraktivitas. Banyak bergerak. Banyak berjalan. Temui banyak hal untuk mengasah kepekaan, kelembutan, dan perasaan. Maka teruslah berjalan.