Percik: Nur Alim Djalil
Andaikan sembilan tahun lalu dia menerima tawaran di kantornya — sebuah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif — dia tentu tidak bernasib seperti sekarang. Sebuah tawaran yang menarik, menggiurkan, masuk akal, dan tentu saja diidam-idamkan banyak orang — dia tolak dengan alasan yang tidak pernah dikemukakannya kepada orang lain.
Dia terkesan agak terburu-buru ketika itu. Boleh jadi lantaran dia merasa tidak cocok saja. Sebuah pintu yang terbuka di depannya, yang tentu saja apa yang ada di dalam sangat menarik, ditampiknya. Dia lebih memilih pintu yang lain, masuk ke dalam, dan selanjutnya, entah, sejak saat itu sosoknya jarang terlihat. Dia tidak hanya tak terlihat di dunia nyata tapi juga dunia maya.
Andaikan sembilan tahun yang lalu dia menerima tawaran tersebut, mungkin dia sudah berada di level pimpinan. Mungkin kalau di pemerintahan, setingkat kepala dinas. Dia akan terbang dari satu kota ke kota lain, teramat sibuk menghadiri rapat-rapat penting. Setiap keputusannya menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi banyak orang, juga tempatnya bekerja. Desah napasnya teramat penting bagi nasib banyak orang. Ujung telunjuknya lebih menentukan arah dibanding mata angin.
Rentang waktu sembilan tahun sangat memungkinkan untuk berproses dan bertumbuh; tumbuh ke level yang lebih baik. Dia, juga, tentu sudah bisa menikmati banyak hal.
Tapi dia bukan MR Tiger dari Tiongkok yang meninggalkan pekerjaannya di pemerintahan lantas membangun usaha sebagai penjual korek api. Kemudian dengan semangat pantang menyerah, MR Tiger menjadi orang terkaya di Tiongkok dengan membangun perusahaan pemantik api dan perusahaan besar lainnya. Benar, dia bukan MR Tiger.
Hingga suatu sore yang tak terduga. Sore yang masih menyisakan gerah padahal sudah musim hujan. Dia seakan tiba-tiba turun dari langit dan menghentikan kepak sayapnya di hadapan saya. Saya terkaget.
“Masih ingat saya?” lontarnya dengan ekspresi wajah yang khas: sepasang alis tebal ditarik ke atas.
Saya meninju lengannya. Saya tentu tidak melupakan sosok yang pernah saya dengar mengambil keputusan bodoh di kantornya ini: ditawari kedudukan, justru memilih tempat lain. Saya masih menyimpan keprihatinan tentangnya ternyata.
Dan kami pun berkisah di salah satu sudut mal. Saya menanyakan aktivitasnya. Perkiraan saya keliru. Dia ternyata jauh lebih baik sekarang. Jauh lebih baik, dibanding ketika dia menerima keputusan sembilan tahun yang lalu. Benar, andaikan tawaran itu dia terima, mungkin dia adalah pimpinan yang tidak lebih baik dibanding sekarang.
Semesta ternyata memiliki keluasan yang tepinya tidak terlihat. Isi alam semesta berlimpah. Laut memiliki ikan beragam dengan sejumlah jenis yang masih belum teridentifikasi manusia. Demikian pula tanaman. Demikian pula benda angkasa — Pluto telah tercoret sebagai planet ke sembilan sebab ditemukan planet yang lebih besar. Betapa luasnya. Betapa terbuka lebarnya peluang.
Semesta masih sangat mendukung dan berkelimpahan bagi siapa saja yang ingin berubah. Semesta masih menyiapkan keluasan. Batas alam semesta ini adalah tergantung isi kepala kita.
Ketika saya ingin mengabadikan pertemuan tersebut, dia mengingatkan agar tidak disebar di media sosial. Lebih nyaman hidup tanpa dikenal orang banyak dan di luar prasangka banyak orang, katanya.