Percik: Nur Alim Djalil
Seorang keluarga, lelaki 25 tahun, meninggal dunia lantaran kecelakaan di dekat Taman Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar. Saya mendapat kabar bahwa ada kecelakaan maut yang dialami sepasang kekasih di Panaikang. Reporter saya tugaskan untuk meliput peristiwa tersebut, terutama bagaimana kronologis kecelakaan itu.
Beberapa jam kemudian reporter datang membawa berita, dengan penuh semangat dan rasa prihatin menceritakan kejadian itu. Ia melaporkan kejadiannya sungguh tragis. Sang cewek meninggal di tempat sementara cowok kritis. Saya malah sempat membaca beritanya kemudian mengalihkan perhatian ke peristiwa yang lain. Teramat banyak kejadian tragis yang terjadi setiap hari, sehingga kecelakaan, tewas, bencana, dan lain-lain sudah dianggap biasa.
Esok hari, telepon saya berbunyi. Suara di seberang, seorang perempuan terisak terbata-bata. Ia menginformasikan bahwa adiknya meninggal dunia di Rumah Sakit Ibnu Shina.
“Sakit apa? Kayaknya saya tak pernah mendapat kabar.”
“Bukan sakit tapi kecelakaan di Panaikang malam tadi. Hari ini dimuat di koran,” katanya.
Saya terbelalak. Ternyata peristiwa yang saya bahas di kantor malam tadi, kemudian menugaskan reporter meliputnya, adalah keluarga saya sendiri.
Beberapa bulan sebelumnya, ada kabar seorang mahasiswi terseret arus di Bilibili ketika melakukan penelitian. Mendengar itu kami membentuk tim peliput untuk memantau perkembangan kejadian tersebut. Malam itu kami sempat mendiskusikan bagaimana arus yang tiba-tiba dapat berubah di Bilibili.
Berita pun masuk dari para reporter. Saya sempat membaca berita itu. Malah saya sempat berpikir mengapa kelompok mahasiswa itu tidak berhati-hati dan tak mempertimbangkan arus Bilibili, terlebih musim hujan. Berita terakhir yang kami peroleh, mahasiswi yang terseret arus belum ditemukan. Berita itu pun naik cetak.
Masih teramat pagi, saya mendapat kabar ada keluarga meninggal dunia. Jenazahnya sudah ditemukan, dini hari, beberapa ratus meter dari tempat ia terseret arus. Saya terpaku lama. Koran saya raih kemudian memelototi berita itu. Ternyata mahasiswi yang kami perbincangkan hilang terseret arus itu, kemudian kami buat beritanya adalah keluarga saya sendiri.
Saya merasa sungguh gelap. Ini adalah masa yang paling konyol dalam kehidupan saya, larut dalam isu-isu besar, berita, dan tidak tanggap dalam lingkungan sosial keluarga saya.
Saya berdiri di pemakaman keluarga. Beberapa rumput liar saya singkirkan. Saya mengedarkan pandang ke beberapa makam membacakan surah Al-Fatihah. Sesungguhnya, seperti yang pernah saya dengar dari sebuah kaset, kekayaan terbesar itu ada di pemakaman. Sebab, di pemakaman itu banyak terkubur potensi dari sejumlah manusia. Sayang selama hidup potensi itu tidak dimaksimalkan. Mereka mengabaikan potensi itu dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang justru tidak produktif untuk kehidupannya.
Saya meninggalkan pemakaman itu. Bila demikian, kemiskinan yang terbesar ada pada kehidupan ini. Karena kehidupan sekarang, banyak potensi yang tidak dihidupkan. Atau, umumnya manusia, yang hidup dan lalu-lalang sekarang, justru mengubur potensinya sendirinya. Padahal mereka bisa meraih sukses.