Percik: Nur Alim Djalil
Kabut tebal terlihat menutupi Bromo ketika kami sampai di puncak Gunung Pananjakan yang tingginya 2.770 meter dari permukaan laut. Dari gunung yang masuk kawasan Probolinggo ini, Bromo di bawah sana terlihat anggun, seakan berusaha menyingkap kabut yang menangkupinya.
Saya masih mengatur napas. Dua jam menjajal rute Sidoarjo-Pananjakan di belakang kemudi adalah pengalaman baru bagi saya. Menanjak dari gunung ke gunung yang berliku tajam hingga sampai di Gunung Pananjakan, luar biasa memacu adrenalin. Begitu tiba di puncak, di pelataran sebuah home stay dan anak-anak berhamburan untuk foto dengan lata belakang Gunung Bromo, rasa letih itu sirna.
Berikutnya adalah menukik sekira 400 meter ke bawah, yakni menuju lautan padang pasir seluas 10 kilometer persegi. Untuk rute ini giliran mobil kelas jip yang tarifnya 200 ribu pergi-pulang atau motor trail yang tarifnya 50 ribu rupiah. Kami memilih jip, hitung-hitung bagaimana merasakan mobil merabas padang pasir dan menerjang gumpalan debu pasir. Selebihnya untuk mencapai kaki Bromo agar dapat melanjutkan perjalanan ke puncak untuk melihat kawah, dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama jalan kaki, kedua pakai kuda. Pertama gratis, kedua 150 ribu rupiah.
Saya melihat betapa kuatnya masyarakat Tengger-atas itu, bersahabat dengan debu setiap hari. Berapa kubik debu yang telah mereka hirup? Tapi mereka menjalaninya seperti biasa karena di situlah mereka hidup.
Saya melihat persahabatan yang cukup akrab antara masyarakat setempat dengan Bromo. Tidak tergambar perasaan khawatir mereka bila Bromo bisa meletus sewaktu-waktu. Berdasarkan catatan, Bromo terbilang sering meletus. Bromo terakhir meletus pada 2010.
Meski Bromo merupakan gunung merapi aktif, masyarakat sekitar samasekali tak terlihat khawatir. Bromo seakan memeluk dan melindungi mereka. Bromo adalah sahabat meski sering batuk dan menyebarkan debu pasir yang menutupi tempat tinggal mereka. Bromo merupakan kawasan unik yang diciptakan Sang Maha Pencipta untuk menjadi teman setia penduduk setempat, khususnya yang berada di lingkar pinggiran Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.
Masyarakat setempat teramat mesra memperlakukan Bromo setiap waktu. Mereka enggan mengotorinya. Mereka memperlakukan Bromo sebaik mungkin. Meskipun Bromo tercatat meletus 67 kali sejak tahun 1767, mereka menerima Bromo apa adanya — pesonanya, debu pasirnya, udaranya yang dingin, savananya, letusannya, kunjungan wisatawannya.
Alam ternyata bisa memberi banyak hal, bila kita menerima apa adanya, menyayangi dan menjaganya.