Percik: Nur Alim Djalil
Sisa-sisa hujan masih menggenangi jalan. Cuaca cukup nyaman. Jumat pagi, di Jalan Letjen Hertasning, Makassar, kendaraan bergegas. Tapi seorang pengendara motor pas di depan saya berjalan santai. Dari belakang, saya menduga pengendara itu seorang lelaki setengah baya. Potongan tubuhnya agak besar.
Sesekali saya melihat ia menggerak-gerakkan badan. Ia “menari-nari” di motornya, seperti besenandung. Bahagia sekali ia tampaknya. Seperti baru terbebas dari hutang yang selama ini menghimpit hidupnya. Atau seperti baru keluar dari persoalan yang selama ini menghantui hari-harinya. Atau anaknya baru sembuh dari sakit; atau penyakit istrinya dinyatakan negatif; jangan-jangan ia baru mendapatkan cucu. Saya menduga-duga.
Dari belakang saya tersenyum melihat tingkahnya. Saya juga tidak mau mendahului motornya. Saya sangat menikmati gerakan-gerakan tubuhnya. Saya sungguh terhibur: masih teramat pagi melihat orang bergembira.
Jalan Adhyaksa saya lintasi kini. Banyak pembecak. Agak padat tapi kendaraan bergerak lancar. Seorang pembecak saya lihat tersenyum manis di antara pembecak lainnya. Senyum untuk sayakah? Atau untuk semua orang yang lewat? Rasa-rasanya baru kali ini saya melihat senyum dari pembecak yang teramat manis seperti itu. Entah ia tersenyum karena apa. Tapi pemandangan itu teramat indah dan nyaman. Saya kembali menduga-duga.
Kegembiraan itu adalah dunia anak kecil, seorang kawan pernah berkata. Mari kita belajar untuk selalu bergembira seperti mereka, karena apa pun yang mereka lakukan, di mana pun berada, mendapatkan apa, selalu disambut suka-cita. Anak kecil itu seperti matahari yang baru terbit sehingga lingkungan sekitarnya pun langsung meresponnya dengan positif.
Seorang bayi akan langsung merespon dirinya dengan tertawa bila ia terjatuh. Terkadang terdengar tangis tapi itu sekejap. Bayi itu merasakan kejatuhannya sebagai hal yang biasa, alami. Saya pernah membaca sebuah buku yang menyebutkan seorang bayi akan mengalami sedikitnya terjatuh 250 kali untuk dapat berdiri dengan sempurna. Kurang-lebih bayi itu akan mengalami 250 kegagalan untuk mendapatkan kesuksesan.
Kembali pada pagi hari itu. Cuaca tetap nyaman. Nikmatilah setelah hujan tercurah. Sejuk dan menggairahkan. Saya sudah berada di Jalan Urip Sumoharjo. Kendaraan cukup padat. Saling rebut untuk mendahului. Terkadang untuk dua jalur menjadi tiga jalur. Agak aneh juga mengapa kota ini mendapatkan penghargaan sebagai kota tertib lalu-lintas.
Saya berjalan pelan-pelan, ikut kendaraan yang di depan. Masih terbayang seorang pengendara motor yang menari-nari di motornya. Juga seorang pembecak yang tersenyum teramat indah. Hari ini rasa-rasanya memang indah.
Pak polisi lalu-lintas mengatur kendaraan dengan ramah. Tak ada yang membunyikan klakson tak sabaran. Nyaman kalau begini setiap hari. Atau jangan-jangan perasaan saya yang telanjur gembira ini hari?
Tiba-tiba ada “bukk” ketika kendaraan menurun di jembatan Pampang, di depan RS Ibu Sina. Saya terkaget. Sebuah sepeda motor menghantam bagian belakang kendaraan. Tak terdengar bunyi pecahan. Tapi saya yakin ada yang penyok.
Saya menurunkan kaca, menoleh kepada pengendara motor bermaksud menegur. Ia tersenyum teramat manis kepada saya. “Tak apa-apa, Pak,” katanya. “Maaf.”
Gelagapan, kikuk, ssaya buru-buru membalas senyumnya, kikuk. “Tak apa-apa,” balas saya. Teramat sayang untuk menodai suasana yang terbangun indah sejak tadi. Saya senyum-senyum mengalirkan kegembiraan ke seluruh tubuh saya.
Masih kepikiran bagian belakang kendaraan yang mungkin penyok. Tapi sudahlah. Konon, cara sederhana untuk menjadi sehat adalah menggembirakan tubuh kita.