Percik: Nur Alim Djalil
Ada pandangan bijak leluhur kita di Bugis-Makassar yang menyebutkan bahwa: dunia akan kacau, perempuan akan mati bersalin, huru-hara merajalela, penyakit aneh mewabah, kampung terbakar, tanaman tidak tumbuh subur, kemarau panjang terjadi, banjir di mana-mana, lain yang menanam, lain menuai, lain memasak, lain memakan, gempa bumi terjadi beruntun, masyarakat akan sengsara dan menderita – bila pemimpinnya salah.
Lantaran itu, masih pesan bijak tersebut, pemimpin harus jujur kepada Sang Pencipta, jujur kepada sesama pemimpin, jujur kepada rakyat, kepada diri sendiri, keluarga, bahkan harus jujur kepada sesuatu yang dilihat maupun yang tidak terlihat.
Setiap peristiwa alam, oleh leluhur kita selalu dikaitkan dengan pemimpin. Bukan dikaitkan warga atau masyarakatnya. Demikian pula tidak dikaitkan kondisi alamnya. Maka untuk terhindar dari semua itu, leluhur kita menegaskan kepada pemimpin agar bersikap jujur.
Saya tidak mau mengaitkan gempa beruntun yang terjadi di tanah air, wabah penyakit, kekeringan di mana-mana, lantaran kepemimpinan nasional sekarang. Terlebih saya tidak mau berpendapat bahwa presiden yang menyebabkan terjadinya bencana beruntun itu, lantaran ditolak oleh alam. Tapi saya lebih ingin melihat gempa itu lantaran tanah yang kita pijak setiap hari.
Tanah itu bersifat jujur dan rendah hati. Pandangan orang tua kita tentang tanah adalah lapisan tipis permukaan bumi yang hidup. Tanah anggerang tallassa atau membawa kehidupan dan sangat memengaruhi aktivitas penduduk bumi. Kejujuran tanah akan memberi apa yang kita tanam lantaran memperlakukannya secara baik. Tanah akan mengeluarkan rezeki bila kita mengharapkan rezeki. Tanah akan memberi kerusakan bila kita merusak tanah.
Tanah yang terbentuk dari pelapukan batuan, mineral, dan tumbuhan itu teramat baik. Sifatnya pun sangat baik. Wajar bila tanah selalu dikaitkan manusia karena tanah memberi kehidupan. Bukankah manusia berasal dari tanah? Orang tua kita, sejak dulu selalu mengingatkan, setiap keluar rumah, jangan lupa memberi salam kepada tanah.
Manusia sudah sangat jauh berubah, ucap seorang kawan. Manusia semakin jauh dari sifat-sifat tanah yang menolak salah. Manusia juga semakin tidak jujur. Banyak tatanan kehidupan yang dilanggar. Banyak tindakan-tindakan yang jauh dari sifat tanah yang menyebabkan ketidakseimbangan. Tanah bergerak menyeimbangkan tatanan yang dilanggar manusia. Tanah akan terus bergerak sesuai sifat yang diperlihatkan manusia yang memijak dan mendiaminya. Hanya saja pergerakan tanah itu, antara lain, menyebabkan gempa.
Siapa yang bisa meluruskan tatanan yang salah itu? Kekuasaan seorang pemimpin. Dengan kekuasaan, sesuatu itu menjadi baik – atau malah menjadi semakin buruk. Kelebihbaikan, seperti yang dipesankan leluhur kita, itu terbangun dari kejujuran.
Benar, tanah itu teramat jujur. Maka gempa, tanah longsor, dan banjir itu sesungguhnya sifat jujur yang diperlihatkan tanah kepada kita, juga kepada pemimpin kita.