Nur Alim Djalil
Setiap membuka peta Papua, saya selalu tertarik melihat garis perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Perbatasan yang seakan disepakati dengan mengambil mistar kemudian ditarik garis lurus dari atas ke bawah, sreeett, kecuali di wilayah Mabaduam yang sedikit melengkung. Pembagian wilayah Papua dan Papua Nugini juga seperti membagi gambar seekor burung secara adil. Ada yang mendapatkan setengah badan hingga kepala, ada yang setengah badan hingga kaki dan ekor.
Ini adalah wilayah Papua Nugini, kurang-lebih 100 meter melewati perbatasan. Spot yang menunjukkan bagaimana alam Pupua Nugini yang sangat indah.
Pemerintah Belanda dan Inggris-lah yang membagi wilayah seperti itu. Belanda menguasai bagian kepala, Inggris bagian kaki-ekor. Batas wilayah ini juga kemudian diperkuat dengan perjanjian batas Irian Barat-Papua New Guinea di Canberra, Australia, pada 1970.
Papua Nugini boleh dikata negara yang masih sangat alami. Berdasarkan catatan penjelajah, ada sebanyak 40 suku yang belum tersentuh di Papua Nugini. Suku-suku ini sebagian besar mengikuti gaya hidup pemburu-pengumpul. Hubungan dengan dunia luar masih sangat terbatas. Kehidupan mereka benar-benar masih sangat primitif.
Papua Nugini adalah salah satu negara Persemakmuran Inggris yang menganut sistem pemerintahan Monarki Konstitusional yang mengakui Raja Inggris Raya sebagai Kepala Negaranya. Ratu Inggris Raya diwakili oleh orang Gubernur Jenderal Papua Nugini. Sedangkan Kepala Pemerintahannya adalah Perdana Menteri. Ibukota Papua Nugini adalah Port Moresby.
Saya membayangkan, suatu saat melewati garis batas itu, melangkah, meskipun hanya beberapa puluh meter. Alhamdulillah, keinginan itu terwujud pada Selasa, 6 September 2023, siang. Hitung-hitung sebagai hadiah pernikahan kami yang ke-27.
Berangkat dari Tanah Hitam, Abepura usai zuhur, terus ke kawasan Hamadi melewati Jembatan Youtefa atau yang populer dengan Jembatan Merah — yang tercetak di uang pecahan Rp75.000. Kami lantas melewati Hotekamp, kemudian meliuk-liuk di jalan poros Koya Tengah yang mulus selama 1,5 jam hingga melewati Pos Satgas Muara Tami, kemudian lanjut ke wilayah Skouw.
Di Skouw ini ada pasar, masjid, gereja yang lumayan megah, kemudian bersiap-siap melewati Pos Lintas Perbatasan Negara yang dijaga tentara bersenjata namun sangat ramah. Saya bertanya, perbatasan dibuka sampai pukul berapa? Pukul 16.00 jawabnya.
Kartu identitas dititip. Meminta izin agar kendaraan bisa masuk lebih dekat perbatasan, alhamdulillah diizinkan, kemudian melewati pemeriksaan di bagian imigrasi, dan seterusnya, lantas ke tempat parkir.
Gerbang batas masuk Papua Nugini pun terlihat. Gerbangnya lumayan menjulang. Beberapa meter di sebelah kiri, ada menara yang cukup tinggi untuk mengintai. Kami melewati gerbang itu, yang dijaga dua orang polisi. Masuk ke zona aman perbatasan yang lebarnya 15 meter kemudian bersiap masuk ke gerbang perbatasan Papua Nugini.
Alhamdulillah kami pun melangkah masuk ke Papua Nugini. Ya, kami sudah memijakkan kaki di negara Papua Nugini. Kami di luar negeri, sudah.
Petugasnya terlihat santai, duduk di pos membalas sapaan kami. Keluar dari pekarangan pos lintas batas, kami pun melangkah pelan melewati warung-warung yang menjual cinderamata khas Papua Nugini termasuk bendera.
Saya menanyakan harga kain bermotif tradisional. Bisa dibeli dengan uang rupiah. Kami berinteraksi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ada juga yang menjual daging domba panggang. Penasaran ingin mencobanya. Tapi urung. Entah kenapa perut saya masih menolak untuk diisi.
Setelah menikmati beberapa sudut dan spot untuk foto di Papua Nugini, sekira satu jam, kami pun meninggalkan tempat itu. Udara sangat menyengat. Kami tidak kuat lagi. Lagi pula, perbatasan pun sebentar lagi akan tutup.
Begitu melewati gerbang Papua Nugini, masuk ke gerbang Indonesia, henpon kami pun terkirim notifikasi dari jasa layanan internet: “Selamat, Anda kembali ke Tanah Air.”