Nur Alim Djalil
Peninggalan sejarah adalah salah satu aset Thailand. Pemerintah dan masyarakat Thailand sangat menyadari itu. Kota tua di Chiang Mai masih ada. Begitu pun benteng dan kanal yang mengelilinginya. Mereka menjaganya sedemikian rupa dan ternyata itu sangat menarik para wisatawan. Berbeda dengan Makassar, yang justru meruntuhkan bangunan bersejarah satu per satu.
Di tengah pembangunan yang begitu pesat di Kota Chiang Mai sekarang, bahkan pernah menjadi tuan rumah Asian Games ke-10, namun kota tuanya — sebelum pengembangan dan pemekaran — masih dapat disaksikan hingga sekarang. Aktivitas kehidupan masih berlangsung. Bangunan tua masih utuh. Batas kota juga masih jelas dan terlihat.
Tha Pae Gate atau Gerbang Tha Pae, merupakan gerbang yang dibangun dengan bata merah itu berada di alun-alun Kota Chiang Mai. Tempat ini selalu ramai oleh pengunjung. (Google)
Kota tua Chiang Mai dikelilingi benteng dan kanal selebar lima hingga 12 meter. Di dalamnya terdapat istana kerajaan. Bangunannya masih terawat. Begitu pun benteng dan kanalnya.
Pada zaman dulu, kanal itu berfungsi untuk menghambat laju musuh yang akan menyerang Kerajaan Chiang Mai. Beberapa bagian dari benteng itu terlihat jebol di sana-sini. Itu lantaran benteng kerajaan itu pernah diobrak-abrik pasukan gajah Burma.
Bagian benteng yang jebol itu tetap terpelihara. Beberapa susunan batunya yang berserakan dibiarkan apa adanya. “Apakah batu benteng yang berserakan itu masih tetap seperti ketika kali pertama musuh menghajarnya?” tanya saya kepada Samporn sang guide, 36 tahun, berputra dua.
“Kayaknya, sejak Samporn masih kecil, posisinya masih seperti itu. Tidak ubah-ubah. Dibiarkan saja,” jawabnya.
Maka saya menghitung waktu. Serangan pasukan Burma meruntuhkan benteng itu pada 1776 M. Berarti benteng yang jebol itu sudah 227 tahun lalu. Berarti dua abad lebih tak dipindahkan dari tempat semula.
Bentuk bentengnya biasa saja. Terlalu sederhana untuk sebuah benteng pertahanan. Terbuat dari batu bata yang disusun rapi. Batu batanya lebih lebar dibanding ukuran batu bata sekarang. Warnanya kemerah-merahan.
Melihat bentuk dan kontruksinya, benteng Somba Opu di Makassar lebih bagus, kukuh, dan sangat strategis. Kalau Benteng Chiang May ketebalannya satu hingga dua meter, Somba Opu rata-rata tiga meter. Kalau Chiang Mai ketinggian bentengnya rata-rata tiga hingga enam meter, Somba Opu tujuh meter.
Kanal yang mengelilingi benteng itu juga terpelihara. Airnya jernih. Kanal pada bagian utara bernama Chang Puak, bagian barat disebut Suang Pung. Setiap tahun digelar Festival Songklan atau Festival Air di kanal itu.
Mereka naik perahu, berenang-renang mengelilingi kota tua, saling mencipratkan air dengan riang gembira. Terdapat delapan jembatan utama selebar tiga meter yang menghubungkan pintu gerbang benteng dengan jalan raya. Tiap gerbang terdapat lubang-lubang kecil yang berfungsi sebagai tempat melepaskan anak panah.
Berjalan-jalan di kota tua itu, seperti melihat masa lalu. Memang bangunannya sudah jauh berubah mengikuti perkembangan arsitektur modern. Tapi bangunan-bangunan khasnya, pasar, gedung pemerintahan, istana kerajaan, dan rumah ibadah, masih terpelihara. Memang tampak ada renovasi di beberapa bagian. Tapi itu tidak mengubah dari bentuk lama.
Semakin menyusuri kota tua Chiang Mai yang dikelilingi benteng, kian terbayang Benteng Somba Opu, yang menjadi jangkar Kerajaan Gowa pada abad ke-16 dan 17. Melihat peran dan posisinya, Somba Opu lebih eksotis. Terletak di tengah aliran anak Sungai Jeneberang yang bercabang dan terhubung laut Selat Makassar.
Sebelah utara berbatasan Kota Makassar dengan Sungai Tallo. Bagian selatan dengan Sungai Jeneberang dan bagian barat Selat Makassar. Dengan demikian, posisinya sangat baik untuk perdagangan, pemerintahan, dan tentu saja pertahanan. Bukti kehebatan Kerajaan Gowa mengatur strategi militernya.
Kalau Benteng Chiang Mai ditaklukkan pasukan Burma dalam dua hari, Benteng Somba Opu tujuh hari oleh Belanda dan sekutunya. Itu pun Belanda sempat kewalahan, karena meriam utama yang bernama “Anak Makassar” mengamuk. Ketika Somba Opu ditaklukkan, pemerintah Belanda buru-buru mengangkut meriam “Anak Makassar” ke Batavia. Tentu sebagai kenang-kenangan tentang sebuah pertempuran yang begitu dahsyat.
Bangunan tua, bahkan kendaraan tua, tetap dipelihara di Chiang Mai sehingga menjadi ciri khas kota tersebut. (google)
Chiang Mai, yang berarti ‘kota baru’ terletak 700 km dari Bangkok. Kota itu, berdasarkan catatan sejarah, didirikan oleh Raja Mangrai pada 1296. Wilayahnya berada pada ketinggian, sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Terdapat beberapa bukit yang mengelilingi.
Salah satu bukitnya setinggi 300 meter, menjadi tempat penyimpanan abu Sang Buddha yang dibangun Pikshu Basai Vichay selama tiga bulan. Kuil yang bernama Wat Phra That Doi Shutep itu kemudian sangat terkenal, selain karena terletak di puncak bukit untuk mencapainya mesti melewati kelokan yang berjumlah 99, juga karena seluruh permukaan kuil berlapis emas.
Kotanya sangat teratur. Laju kendaraan sama dengan di Makassar. Agak santai dan tidak tergesa-gesa. Bandar udaranya terletak di tengah-tengah kota. Karena itu, dari pinggiran kota ke bandara, dapat ditempuh 10 hingga 15 menit.
Ruas jalan sangat memadai dibanding kuantitas kendaraan. Tempat yang dapat menimbulkan kemacetan lantaran penumpukan manusia seperti sekolah dan perguruan tinggi, umumnya jauh dari jalan utama.
Sangat berbeda dengan Bangkok. Di pusat kota, jalannya pendek dan sempit. Kalau di Makassar, mirip di JalanSulawesi dan kawasan sekitarnya. Tapi lalu-lintas begitu teratur. Sangat jarang dijumpai kondisi seperti di JalanSulawesi pada siang hari. Bangkok sangat memelihara bangunan peninggalan sejarahnya. Karena itu, pemerintah setempat menjuluki kotanya The City of Angles atau Kota Bidadari. Kalau Chiang Mai, dijuluki The City of Bikshukarena penduduknya cenderung religius.
Melihat benteng Chiang Mai dan bangunan tua di Bangkok, jadi teringat Makassar, kota yang menyimpan sejarah yang mendunia dan panjang. Memang ada persamaan juga perbedaan. Kalau Benteng Chiang Mai, reruntuhan bangunannya masih ada dan terpelihara, Benteng Somba Opu, bekasnya terdapat di sebelah barat juga masih terlihat. Begitu pun beberapa peninggalan di dalam benteng.
Makassar sesungguhnya lebih baik dari Chiang Mai karena memiliki Benteng Fort Rotterdam yang masih utuh meski dikelilingi bangunan perkantoran. Chiang Mai tidak. Tapi Makassar sangat jauh berbeda dibanding Bangkok. Kalau Bangkok bangunan tua bersejarah tetap kukuh diantara bangunan modern yang gemerlap, di Makassar justru diruntuhkan satu per satu.
Kalau Chiang Mai batu berserakan di benteng dibiarkan utuh pada tempatnya, di Somba Opu sumur tuanya yang menjadi bukti dan tentu punya kisah yang begitu banyak justru dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Malah, ketika menjelang Pemilu, entah mengapa dinding sumur itu justru dicat kuning.
12 thoughts on “Menyusuri Kota Tua Chiang May, Thailand”
Comments are closed.