Nur Alim Djalil
Negeri Gajah Putih Thailand tak lepas dari tapak kaki orang Bugis-Makassar zaman dulu. Orang Makassar yang tiba di Thailand pada abad ke-17 pernah membuat catatan penting ketika demi harga diri melakukan pemberontakan terhadap pemerintah setempat ketika masih berpusat di Ayuthia. Kini, sisa-sisa keberadaan orang Makassar tetap ada dan menjadi salah satu bagian penting di Thailand.
Pemandangan liuk Sungai Chao Phraya yang melintang di tengah Kota Bangkok, Thailand. Sejarah keberanian orang Makassar pernah tercatat di sungai ini, ketika terjadi pertempuran melawan Prancis, pada Agustus 1686. (google)
“Tolong tunjukkan di mana perkampungan orang Makassar,” ujar saya kepada Samporn dari Janesak Travel Co Thailand, seorang guide yang sangat fasih berbahasa Indonesia. Diam-diam, saya teramat ingin menginjak kampung yang bersejarah dan pernah menggetarkan orang Thailand (kala itu disebut Siam) dan membuat pasukan Prancis merasa ciut serta Inggris ketar-ketir.
Samporn yang menyebut nama internasional-nya adalah Peter pada 9 Juli 2003 pagi, mengajak naik perahu di sepanjang sungai Chao Phraya yang membelah kota Bangkok dan menghubungkan beberapa kota penting di Thailand. Chao Phraya oleh masyarakat Thailand dianggap sebagai sungai yang suci. Airnya di yakini mengandung berkah. Bila diminum akan membuat badan sehat dan mengalirkan rezeki. Bila untuk mandi akan menghilangkan penyakit dan membuat kulit bersih bercahaya. Itulah makanya, kata Samporn, kulit gadis-gadis Thailand tampak halus dan bercahaya.
Sungai yang lebarnya 100 hingga 600 meter dan panjangnya mencapai 200 km, itu merupakan pusat dari kebutuhan masyarakat negeri Gajah Putih yang mempunyai 31.200 pagoda. Selain untuk menyuplai kebutuhan air, pembangkit listrik untuk mengairi lahan pertanian, juga sebagai jalur transportasi.
Bersama Samporn, saya menyusuri sungai Chao Phraya dengan menggunakan perahu motor yang panjangnya delapan meter. Ada juga perahu yang panjangnya 12 meter, lebih ramping dan rendah. Perahu jenis ini pernah digunakan James Bond 007 ketika mengejar jaringan narkoba di Bangkok. Masyarakat setempat menyebutnya ‘taxi’ karena merupakan salah satu alat transportasi di sepanjang sungai itu dengan tariff yang juga tergantung jarak. Bila untuk sekadar menyeberang tarifnya 30 bath (satu bath 230 rupiah berarti Rp 6.900). Bila ke suatu tempat atau kota lain tarifnya lebih mahal lagi.
Sekira satu setengah jam perjalanan perahu motor, muncul beberapa sampan dengan muatan berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Cepat sekali sampan itu menghadang perahu kami. Malah sampan-sampan itu memotong laju perahu, kemudian merapat sehingga badan perahu tergesek.
Orang di sampan kecil itu kemudian menawarkan barang jualannya. Mulai dari sayur-sayuran, gula, mie instan, bahkan beberapa ekor ayam. Mereka malah bergantung di sisi perahu dengan lincah. Perlahan mereka mundur setelah diisyaratkan tidak mau membeli. Mereka kemudian mengejar perahu motor lain dengan tindakan yang sama.
Samporn menatap saya sambil senyum-senyum setelah orang sampan itu menjauh. Ia kemudian menunjukkan bahwa perkampungan Bugis-Makassar sebetulnya sudah terpampang di sebelah kanan saya dan manusia di atas sampan yang menghadang laju perahu motor kami tadi tinggal di perkampungan itu.
Saya terbelalak. Rumah-rumah panggung di tepi sungai. Ada masjid kecil. Sampan yang terikat di tiang rumah. Jaring yang menggantung di samping rumah. Pakaian yang dijemur di beranda. Penghuni yang duduk-duduk, bercengkrama sembari menghisap rokok. Ini adalah tipikal perkampungan Bugis-Makassar di mana saja.
Inilah tempatnya, batin saya bergetar. Maka kejadian selanjutnya adalah bulu kuduk saya yang terus berdiri. Saya terpaku. Mata saya nanar. Bayang-bayang di kepala saya tiba-tiba penuh dengan peristiwa yang terjadi di darat dan sepanjang Sungai Chao Phraya. Perasaan saya seketika terlempar ke jejak heroik pada abad ke-17: pemberontakan orang Makassar di Ayuthia! Di sungai ini! Dan sampan-sampan yang mengejar perahu musuh adalah salah satu bagian dari pertempuran yang mencengangkan pasukan Prancis dan Inggris kala itu.
Perkampungan Makassar, batin saya terus bergetar. Inilah tempat, empat abad yang lalu, pada Agustus 1686, sekitar 120 orang Makassar dengan alasan mempertahankan harga diri, menghadapi 6000 pasukan gabungan Thai, Perancis, dan Inggris. Mereka nyaris memenangkan pertempuran meski dengan peralatan tak seimbang : badik, parang, dan tombak melawan bedil dan meriam. Kala itu sekitar 1000 pasukan musuh tewas termasuk beberapa kepala pasukan. Begitu pun beberapa perahu dan kapal musuh mereka hancurkan.
Di sungai inilah orang Makassar dalam pertempuran itu memutuskan membakar kapal mereka sendiri, kemudian naik ke darat sembari menghunus badik dan mengacungkan badik tombak serta parang sebagai isyarat bahwa mereka telah memilih untuk habis-habisan bertempur. Pulang ke tanah Makassar bukan pilihan seorang lelaki.
Pertempuran sengit di Ayuthia dan salah satu sisi sungai Chao Phraya itu, seperti yang dikisahkan Christian Pelras peneliti asal Prancis, bermula ketika orang Makassar memberontak lantaran tidak mau tunduk kepada raja Thai.
Orang Makassar disebut-sebut akan melakukan makar bersama orang Melayu dan Cam. Rencana makar yang akan dilakukan orang Melayu-Cam itu memang ada. Malah tanggalnya sudah mereka sepakati, yakni 15 Agustus 1686. Orang Makassar tahu rencana makar itu, malah diajak tapi tidak mau terlibat. Inilah yang kemudian yang dinilai sebagai kesalahan orang Makassar : tahu tapi tidak melapor ke kerajaan.
Ketika rencana pemberontakan terbongkar, orang Melayu dan Cam mengurungkan niat, malah memenuhi panggilan raja kemudian menjelaskan rencana makar itu dan akhirnya diampuni. Orang Makassar tidak. Makassar tidak punya niat memberontak, Karaeng Makassar menolak panggilan menghadap raja. Setelah berkali-kali dipanggil, akhirnya karaeng memenuhi panggilan tapi dengan mengajukan salah satu syarat : tetap membawa badik.
Panggilan tersebut sebagai upaya untuk menangkap sang karaeng karena selama ini menolak. Begitu tiba di istana dan karaeng akan ditangkap, seketika karaeng dan dua puluh pendampingnya melompat dan menghunus badik. Sejak itu, pertempuran pun meletus.
Pertempuran yang tak berimbang dari segi peralatan itu, memang nyaris tak menyisakan orang Makassar. Perkampungan mereka diratakan. Semua yang bernyawa, nyaris dihabisi, kecuali dua putra Karaeng Makassar yang masih belia. Salah satunya bernama Daeng Ruru, 14 tahun.
Dalam catatan sejarah, keduanya diboyong ke Prancis, diambil sebagai anak angkat oleh Raja Louis XVI. Dalam usia yang masih muda mereka dipercaya sebagai Laksamana. Kedua putra Makassar itu juga telah mengangkat pamor Angkatan Laut Prancis di perairan Eropa pada abad ke-17 dan 18.
Jejak peninggalan Bugis-Makassar masih dijumpai di sepanjang Sungai Chao Phraya, meskipun Perkampungan Makassar seakan terkubur dalam lembaran sejarah. (foto: google)
Perkampungan Makassar itu seakan terkubur lembaran sejarah. Sekarang perkampungan itu sudah dipenuhi orang Melayu, Vietnam, Kamboja, dan Filipina. Setelah pertempuran sengit itu, pergerakan orang Makassar yang datang ke Thailand dibatasi. Sejarah juga tidak mencatat lagi rombongan orang Makassar yang datang ke Thailand, seperti yang kali pertama pada 1646.
Kelompok yang datang belakangan adalah dalam jumlah kecil yang kemudian mendiami perkampungan yang tersebar di pinggiran sungai Chao Phraya sampai sekarang. Mereka, seperti biasa, mengambil peran yang juga penting, mengolah hasil laut dan sungai.
“Bisakah kita lebih mendekat lagi ke perkampungan itu, Samporn?” ujar saya.
Kami merapat di sekitar rumah-rumah panggung itu. Sampan-sampan yang membawa beraneka jualan, seperti biasa, mengerubungi perahu motor kami. Mereka satu per satu menjauh setelah kami mengatakan, “Mao!” yang berarti tidak mau atau tidak membeli.
Perahu motor melaju, meninggalkan jajaran rumah panggung itu. Sesekali saya mencelupkan jari-jari ke permukaan sungai dari sisi perahu. Dulu, berabad-abad lalu, air sungai ini berwarna merah. Merah lantaran darah orang Bugis-Makassar yang tumpah ke sungai ini demi harga diri. Sungai yang hingga kini disucikan orang Thailand.
8 thoughts on “Chao Phraya, Bulu Kuduk Berdiri”
Comments are closed.