Nur Alim Djalil
Sakit di pinggang belakang. Saya teramat sulit bergerak. Duduk sakit. Jalan sakit. Tidur sakit. Bangun tidur sakit. Bersin dan buang angin saja sakit. Bila salat, saya mesti melakukan beberapa gerakan tambahan karena tidak bisa rukuk, sujud, dan duduk dengan sempurna.
Bila kondisi begini, tersadar lagi betapa berharganya tubuh yang sehat. Badan yang bugar. Saya cemburu melihat tetangga yang bolak-balik jogging di depan rumah. Sesekali menggerak-gerakkan pinggangnya ke kiri dan kanan. Terlihat juga beberapa pekerja yang mengangkat batu. Juga ibu-ibu kelompok tani yang bercengkerama sembari jongkok memasukkan tanah ke wadah. Betapa sehat pinggangnya. Betapa sempurna gerakannya.
Jangan-jangan saraf terjepit, istri saya menduga. Aduh, jangan, kata saya. Kita masih ingin berjalan jauh. Kita masih punya beberapa target. “Ini hanya masuk angin,” ucap saya.
Dari beberapa artikel sakit pinggang yang saya baca, penyebabnya antara lain, masuk angin. Inilah penyebab yang paling cukup ‘menghibur’ dibanding penyebab yang lain. Cara mengatasinya cukup dengan banyak minum air hangat. Selain itu mandi sebelum subuh. Juga banyak beristighfar.
***
Sakit di pinggang sudah mendingan. Masih sakit-sakit sedikit. Namun sudah cukup lumayan. Gerakan tubuh tidak lagi seperti robot yang akan ke habisan baterai.
Sore jelang magrib, saya dan istri ke mall. Tiba di mall kami berpisah — istri ingin membeli beberapa kebutuhan, saya ke toko buku.
Ternyata terjadi penumpukan di depan eskalator. Ada seorang ibu yang panik. Dia bertahan tidak melangkah sembari memegang seorang anak laki-laki remaja yang meronta ingin naik. Sang ibu juga memegang seorang anak kecil tiga tahunan.
Ibu itu kelihatan bingung bagaimana menjaga keseimbangan sembari mengendalikan kedua anaknya. Dia berusaha menahan agar anak remaja itu tidak naik, seakan takut ditinggalkan.
Ketika berada di belakangnya, saya mengatakan agar ibu itu naik saja pelan-pelan. Saya berusaha agar ibu itu tidak semakin panik.
“Tolong dipegang anak saya ini,” ucapnya.
Saya pun memegang erat anak remaja itu. Kami pun bergerak naik. Baru saya sadar ternyata anak tersebut menderita kelainan mental. Anak itu melambai-lambaikan tangan kepada pengguna eskalator yang bergerak turun, di sebelah. Gerakannya banyak. Dia berteriak-teriak.
Tanpa sadar otot-otot di pinggang saya bekerja keras menjaga keseimbangan.
Tiba di ujung eskalator, saya memerintahkan anak itu agar segera melangkah mencapai lantai. Ternyata tidak. Dia hilang keseimbangan. Hampir jatuh. Saya berusaha sekuat tenaga berusaha mengimbanginya agar tidak ikut jatuh. Tanpa sadar otot-otot di pinggang saya bekerja keras menjaga keseimbangan.
Saya menunggu ibunya sembari masih memegangnya erat. Anak remaja itu ternyata ingin ke wahana permainan. Setelah menyerahkan ke ibunya, saya melangkah ke toko buku.
Ketika berdiri di depan kasir, saya baru sadar, sepertinya ada yang berubah. Nyeri di pinggang ini sepertinya sudah tidak ada. Iya, sudah tidak ada. Tidak sakit lagi. Saya sangat bersyukur sekali, sembari bergegas menemui istri saya, menceritakan pengalaman yang baru saya alami.
20 thoughts on “Sakit Pinggang”
Comments are closed.