Seorang Bapak yang Ingkar Janji

Posted on

Nur Alim Djalil

WAJAH  anak laki-laki yang berusia sembilan tahun itu berseri-seri. Matanya berbinar-binar. Ulang tahunnya sudah dekat. Ia meminta dibelikan sepasang sepatu bola yang banyak dijual di dekat Stadion Andi Mattalatta dan kedua orangtuanya mengiyakan. Anak itu tersenyum. Mekar. Hm, sepasang sepatu bola. Ia membayangkan akan berlari lincah seperti Kaka dan Ronaldo – pesepak bola idolanya ketika menggiring  bola.

Di sekolah, anak itu mengabarkan kepada rekan-rekannya bahwa ia akan segera memiliki sepatu bola. Di lingkungan tempat bermainnya pun demikian. Ia bercerita dengan penuh semangat. Sepasang sepatu bola dengan warna putih bergaris-garis merah sudah terbayang-bayang di pelupuk matanya. Malah ia seakan sudah meraba-raba sepatu itu. Meraba talinya. Meraba-bagian bawahnya yang kasar.

Hari ulang tahun itu semakin dekat. Kedua orangtua anak tersebut, seperti biasa, tenggelam dalam kesibukan. Mereka tetap ingat hadiah sepatu bola itu namun waktunya belum sempat. Biarlah pada saatnya nanti. Toh, stadion jaraknya hanya sekejap mata. Gampang itu.

Dua hari menjelang hari spesial itu, si bungsu yang berusia tiga tahun panas tinggi. Praktis perhatian tertuju padanya. Termasuk semua cadangan anggaran. Akhirnya janji sepatu bola tidak terkabul. Anak laki-laki itu tampak kecewa namun ia akhirnya memaklumi karena adiknya sakit dan perlu biaya. Juga, setelah ia dijanji akan dibelikan beberapa hari kemudian.

“Tapi janji, dibelikan nanti ya?” desak si anak.

“Saya berjanji,” sahut papanya.

“Pa, kalau begitu, bagaimana kalau kado ulang tahun saya: papa bobok di kamar menemani saya?”

Adakah kado ulang tahun yang paling murah dibandingkan ini? Menemani anak tidur? Lelaki itu tersenyum, mengiyakan, kemudian pamit berangkat ke kantor. Pulang kantor pukul 01.00 dini hari, ia masuk ke kamar berganti pakaian. Ia melihat istri dan putrinya yang bungsu sudah tertidur pulas. Ia kemudian berganti pakaian kemudian menyalakan televisi. Siapa tahu ada berita penting. Ia berniat, sebentar akan ke kamar putranya, tidur di dekatnya, sebagai kado ulang tahun – seperti yang ia janjikan sebelum berangkat ke kantor tadi. 

Lelaki itu duduk di depan televisi. Volumenya disetel rendah. Capek duduk, kayaknya nonton sambil membaringkan tubuh lebih nikmat. Ia pun berbaring. Berita situasi di luar negeri menarik perhatiannya. Korban berjatuhan di Irak, mahasiswa Indonesia tertembak di Amerika, korban lumpur Lapindo berdemo di Jakarta. Tak lama kemudian siaran televisi menjadi samar-samar, timbul tenggelam, pariwara, lalu gelap, hilang, dan ia pun tertidur teramat pulas, di depan televisi.

Waktu terus menggelinding. Kokok ayam dan azan subuh berlalu. Siaran televisi terus berganti. Ia tidak tahu bagaimana anak laki-lakinya berulang-ulang mengintipnya. Ia tidak tahu bagaimana anak laki-lakinya mengerjap-kerjapkan mata, perih, melihat papanya tertidur pulas di depan televisi, mengingkari janjinya, lagi-lagi mengingkari, meskipun itu hanya sekadar menemaninya tidur.

3,379 thoughts on “Seorang Bapak yang Ingkar Janji”