Nur Alim Djalil
Jelang akhir tahun, manusia yang memadati Guangzhou terus bertambah. Sekarang diperkirakan, manusia yang berada di kota ini mencapai 10 juta: 6,7 juta penduduk setempat, selebihnya adalah pendatang. Manusia bertumpuk, muncul dari lorong dan gang-gang sempit, lalu-lalu, mencari dan mengejar tujuan masing-masing.
Apa sebab? Guangzhou adalah kota terbesar di China selatan dan merupakan jendela menuju dunia luar. Kota ini sangat terbuka.Terdapat pelabuhan terbesar dan berdekatan dengan Hong Kong. Setiap akhir tahun rutin digelar pameran komoditi ekspor China (pengucapannya mesti: caina, bukan cina). Terlebih sekarang, Guangzhou melepas barang-barang dengan potongan harga menggiurkan, menyambut pergantian tahun dan tahun baru Imlek.
Suasana kota ramai dengan manusia yang seakan tidak tidur, saya temukan ketika menyusuri Liwan Distrik, Selasa, 16 Desember. Beberapa ruas jalan di kawasan ini ditutup khusus untuk manusia yang lalu lalang. Manusia berseliweran, muncul dari beberapa gang dan ruas jalan seakan tidak putus-putus dengan langkah super cepat. Di kanan kiri adalah kawasan pertokoan, khusus pakaian, asesoris, makanan dan minuman. Karena itu, kawasan ini dikenal sebagai surga belanja di Guangzhou.
Ahn Wei, lelaki berbadan gempal, seorang guide, mempromosikan kotanya habis-habisan dengan mengatakan bahwa sekaranglah saatnya berkunjung ke Guangzhou. Lantaran itu, Guangzhou kebanjiran pendatang, termasuk warga di pinggiran kota, untuk datang berdagang, memanfaatkan momen tahun baru.
Bagaimana soal kriminalitas? Ahn Wei dengan jujur mengatakan bahwa kriminalitas terjadi di mana saja, termasuk di Guangzhou. Itu hal wajar. Terlebih pada saat sekarang menjelang akhir tahun. “Ada saja orang kepepet, kemudian mencopet,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lumayan lancar. Tapi secara keseluruhan tingkat kriminalitas menurun drastis. Guangzhou sangat aman dan nyaman bagi pendatang.
Mengantisipasi tindak kriminal, unit taksi memperlakukan aturan khusus. Antara penumpang dan supir diantarai teralis. Bila lewat pukul tujuh malam, penumpang pria mesti duduk di jok belakang. Anak kecil dan wanita bisa duduk di depan. Mengapa pria di jok belakang karena itu tadi, mengantisipasi tindak kejahatan. Tapi sopirnya terkenal santun, jujur, dan bertanggung jawab.
Karena manusia tumpah ke Guangzhou, tingkat transaksi melonjak drastis, peredaran uang palsu pun meningkat. Dalam melakukan transaksi, keaslian uang, terutama nominal 50 dan 100 Yuan (1 Yuan = Rp 1.650) benar-benar dipelototi. Ahn Wei memberikan tips membedakan uang asli dan palsu: diraba, dilihat, diterawang. Ia juga mengingatkan agar jangan menukar uang di pinggir jalan. Biasanya ditawarkan kurs murah tapi beberapa lembar uang itu palsu. Karena negara Komunis, nilai tukar mereka seragam di semua kota di China.
Saya dan istri menelusuri Liwan malam hari. Suhu dingin menusuk. Suhu di kota ini bila siang lumayan hangat tapi berubah drastis malam hari. Manusia teramat padat. Kebanyakan muda-mudi usia belasan. Mereka keluar-masuk toko. Sampai pukul 23.00 kepadatan jalan itu tidak surut. Aman sekali suasananya.
Hanya saja teramat sulit berkomunikasi di kota ini. Semuanya berbahasa Mandarin. Ada juga yang berbahasa Kanton. Meski bahasa Inggris kami terbatas, kami coba “nyambung” dengan menggunakan bahasa internasional itu. Ternyata nihil. Mereka cuma tahunya “oke-oke”. Terkadang kami hanya saling pandang, tertawa, menertawai diri masing-masing menyadari kebuntuan komunikasi kami. Tapi penuh keakraban.
Lantaran telanjur tidak nyambung, saya sekalian menggunakan bahasa Makassar saja. Dia berbahasa Kanton. Suaranya keras lantaran sudah kulturnya, saya mengimbangi. Dia melengking, saya tertawa. Selebihnya kami berbahasa isyarat.
“Siapa ballinna anne?” tanya saya dalam bahasa Makassar sembari menunjuk keramik teko.
Penjaga toko itu paham. Saya menanyakan harga. Ia menjawab balik dengan menggunakan bahasa Kanton. Giliran saya yang berkunang-kunang tidak mengerti. Saya menunjuk kalkulator agar dia menulis harganya. Dia menulis ’60’.
Saya meraih kalkulatornya, diam-diam menghitung harga itu bila dikalikan nilai rupiah. Lumayan mahal. Teringat pesan guide agar kita harus berani tega dalam menawar. Saya menulis ’15’. Dia melotot, menggeleng, kemudian menulis harga yang lebih rendah dari sebelumnya. Saya tetap bertahan dengan harga penawaran awal sembari memperbanyak senyum.
Karena komunikasi yang terkadang tidak nyambung, saya membawa pulpen dan selembar kertas setiap masuk toko. Gunanya sebagai alat komunikasi yang efektif dalam tawar-menawar harga. Untuk kalimat-kalimat tertentu, seperti “berapa harganya ini”, “mohon kurang sedikit” atau “terima kasih”, sebelumnya saya minta kepada Ahn Wei, agar ditulis dalam aksara China.
Ketiga kalimat itu saya letakkan di tiga saku. Saku baju, celana depan, kiri-kanan. Kalau saya memohon agar harganya dikurangi, saya tinggal membuka kertas yang saya letakkan di saku baju, “mohon kurang sedikit” kemudian memperlihatkannya.
Penjual itu dengan antusias membaca aksara China yang saya sodorkan. Biasanya penjual itu tertawa. Kemudian dengan antusias menurunkan harga. Setelah harga cocok, saya menarik kertas di saku celana, kemudian menyodorkannya, yang dalam bahasa China terbaca “terima kasih”. Cara seperti ini ternyata sangat efektif dan menambah keakraban. Saya berharap mudah-mudahan ketiga kertas itu tidak tertukar.
Selain belanja, Guangzhou juga memiliki beberapa tempat utama yang sering dikunjungi para wisatawan, di antaranya adalah Gedung Peringatan Sun Yat-Sen, kuil nenek-moyang keluarga Chen, kuil Liurong, Pasar Qingping, Gunung Awan Putih (Bai Yun), dan Taman Yuexiu. Sedangkan hasil kerajinan utama kota ini adalah sulaman khas Kanton, kipas dari kayu cendana, serta yang paling terkenal adalah ukiran batu pemata jade.