Nur Alim Djalil
Pekuburan sudah akrab dengan kehidupan saya. Sejak kecil, selain sungai dan got, pekuburan adalah salah satu tempat bermain favorit saya. Kalau tidak bermain di sungai, ya di pekuburan. Bermain di pekuburan sama sekali tak menimbulkan rasa takut. Melompat dari satu kubur ke kubur yang lain menumbuhkan sensasi spesial.
Di belakang Asrama Polisi, Sungguminasa, pada 1970-an terdapat pekuburan warga. Bersama teman-teman se-kompleks kami sering merayap di bawah kawat pembatas untuk masuk ke pekuburan itu. Kami pun bermain sepuasnya, bersembunyi di akar pohon kenari yang sudah berumur ratusan tahun sembari menunggu embusan angin menjatuhkan buah kenari. Kami berebut dengan sengit setiap kali ada buah yang jatuh. Teman saya kadang berkelahi dengan sengit hanya memperebutkan sebiji kenari.
Suatu hari saya benar-benar merasa kehilangan ketika melihat dengan mata kepala sendiri, pohon kenari itu perlahan-lahan rebah dikarenakan angin kencang. Saya kehilangan tempat bermain yang teramat akrab di dalam pekuburan itu. Saya merasa teman-teman yang lain pun demikian. Sungguh, saya merasa ada yang hilang dalam keseharian saya.
Bapak pensiun pada akhir 1970-an, dan ia pun memboyong kami ke kampung halaman di Ujungpandang (ketika itu). Sepetak rumah di asrama polisi kami tinggalkan dengan ikhlas. Di atas truk, bersama barang-barang dan gulungan kasur, saya melambaikan tangan kepada teman-teman dan pak polisi teman bapak — juga sesekali menatap jauh kawasan pekuburan tempat bermain saya.
Tiba di tempat yang baru, rumah lagi-lagi berdekatan dengan pekuburan. Kali ini letaknya di depan rumah dan hanya diantarai seruas jalan. Setiap keluar rumah praktis yang kali pertama terlihat adalah pekuburan itu. Lagi-lagi kawasan pekuburan ini menjadi salah satu tempat bermain saya, selain persawahan untuk bermain bola.
Jenazah yang dimasukkan ke liang lahat sudah sangat akrab dalam ingatan saya. Prosesi pemakaman juga sudah saya hapal betul. Malah, ketika tumbuh remaja, saya sering terlibat dalam proses pemakaman itu. Misalnya pergi mengambil keranda mayat yang disimpan di belakang masjid kemudian mengangkatnya bersama teman-teman. Termasuk memahat nama sang jenazah di kayu nisan dan ikut memandikan jenazah.
Pernah pula saya ikut menggali kubur. Kubur itu digali dekat kuburan yang masih baru. Teman-teman mengatakan saya tidak usah melakukannya. Tapi saya ingin juga. Sambil menggali, saya membayangkan bahwa bagaimana sekiranya nanti kita dimasukkan ke liang seperti ini. Betapa tidak berdayanya. Bagaimana ketika malaikat datang dari dua arah kemudian melakukan fit and proper test.
Ketika saya mengikis dinding liang dengan sekop, tiba-tiba tampak kain kafan dan gumpalan rambut dari kuburan di sebelahnya. Juga bau yang kurang sedap. Saya langsung lemas melihat kain kafan dan rambut itu. Dengan perasaan gemetar saya mengulurkan tangan agar ditarik naik dari liang kubur. Selebihnya perasaan saya tidak enak. Setelah itu saya demam dua hari.
***
JELANG Ramadan ini pekuburan mulai ramai dikunjungi. Kerja bakti membersihkan pekuburan juga mulai dilakukan di mana-mana. Kuburan keluarga juga dibersihkan. Kita pantas mengingat keluarga yang telah lebih dulu menggenapi isi kuburnya. Kita memasuki Bulan Suci Ramadan untuk mendulang banyak isi kubur masing-masing.
Saya menatap pekuburan di depan rumah seperti menatap banyak kenangan. Sesungguhnya, inilah tempat yang kita tuju. Tempat akhir kita membawa isi — yang nantinya akan ditimbang….
9 thoughts on “Pekuburan”
Comments are closed.