Nur Alim Djalil
Perkelahian dikarenakan memperebutkan sebiji buah kenari itu berlangsung sengit. Dua anak kecil bergumul di dalam pekuburan dan berusaha saling melumpuhkan. Keduanya mengerahkan segala daya dan kekuatan untuk mengalahkan lawan. Cakar wajah dan gigit bagian tubuh apa saja dilakukan agar lawan mengaku kalah.
Mereka bergumul lantaran masing-masing merasa berhak terhadap kenari itu. Sebiji kenari dengan kulit hitam yang ranum jatuh dan kedua anak itu berlomba mendapatkannya. Kenari itu dapat digenggam anak pertama, terlepas, dan berhasil direbut anak kedua. Mereka bertengkar. Masing-masing merasa memiliki, kemudian dilanjutkan pergumulan.
Pergumulan itu dilanjutkan permusuhan dalam waktu cukup lama. Mereka masing-masing membentuk sekutu, mencari dukungan sehingga menjadi dua kubu yang berhadapan. Sesekali diwarnai perkelahian kelompok di antara mereka.
Waktu berlalu, satu per satu anak yang bermusuhan itu berdamai diam-diam. Saling mengaitkan jari kelingking. Tinggal beberapa yang masih bertahan. Tapi lama kelamaan kelompok ini menjadi kecil. Tinggal seorang anak kecil yang bertahan — yang melakukan pergumulan awal.
Saya salah satu anak kecil itu. Dalam waktu yang cukup lama saya mencoba bertahan, mencoba tidak berbicara dengan kawan itu. Padahal hanya persoalan sepele. Tapi bagi anak kecil tidak ada hal sepele. Beberapa kawan lain berusaha mendamaikan kami. Seorang kawan mengatakan bahwa lawan saya itu sudah mau baikan dengan saya.
Belakangan saya tahu kalau kepada lawan itu diberitahukan bahwa saya pun mau berkawan dengan dia. Akhirnya kami berteman lagi, diawali saling kait kelingking pelan-pelan. Malah ada kawan yang mencoba menarik kedua tangan kami, mengajak saling berpelukan. Berkawan itu memang lebih baik. Kami benar-benar berpelukan. Saya teringat, saat itu sudah bulan puasa.
Sebongkah beban tercerabut dari dada ketika tubuh kami merapat dan saling lingkarkan tangan. Seketika kami merasa seperti sepasang burung yang terbang dengan bebas. Tak ada beban. Segalanya menjadi ringan dan lapang.
Seorang kawan pernah selama sepekan tidak kembali ke rumahnya. Ia menyibukkan diri dengan urusan musik. Ia sering meninggalkan pekerjaan sebagai seorang jurnalis. Ia mengaku tidak betah tinggal di rumah. Ia juga dikejar-kejar untuk melunasi pinjaman yang tersebar di sana-sini.
Ia merasa tidak mempunyai tempat yang nyaman. Bersama istri sering terjadi percekcokan. Ia merasa seperti Luth yang selalu ditentang istrinya, Walihah. Anak-anak sering dihadapi dengan penuh emosional. Maka jalan yang ia tempuh adalah sesekali meninggalkan rumah.
Dia menceritakan itu dan saya menyarankan agar kembali ke rumah. Bangun harapan yang begitu besar, hadapi persoalan – bukan dengan mencoba lari dari persoalan. Sebab, persoalan akan tetap ada, mengejar kita, sejauh mana pun kita berlari. Maka persoalan harus segera dihadapi dengan membusungkan dada, menegakkan wajah, dan diselesaikan sesegera mungkin.
“Lantas, saya mesti melakukan apa?”
“Peluk istri dan anak-anakmu, bicaralah, berdialoglah, saling buka hatilah, beri dan serap kehangatan dari mereka. Pelukan dari seluruh anggota keluarga jauh lebih hangat dari matahari. Pasti kita akan mendapatkan kekuatan.
Ikatan dan kehangatan keluarga itu jauh lebih kuat dari segalanya. Kemudian hadapi setiap orang yang mendatangimu. Temui orang yang mengetuk pintu rumahmu, tatap matanya, selesaikan segala persoalanmu,” ucap saya.
Hari kedua Ramadan saya menerima SMS dari dia berisi ucapan selamat berpuasa. Yang membuat saya terharu, di akhir kalimat dia menulis nama dirinya, digabung-satukan dengan nama istri dan anak-anaknya. Menandakan keluarga ini tengah saling berpelukan erat.
Berpelukan ternyata mempunyai kekuatan: kekuatan untuk apa saja. Saya juga teringat ucapan seorang pengusaha sukses, bahwa memeluk semua rintangan, berarti akan mendapatkan jalan lapang.
Ramadan Mubarak. Selamat berpuasa.
11 thoughts on “Peluk Ramadan”
Comments are closed.