Nur Alim Djalil
Setiap kali memelototi peta benua Afrika, terbayang-bayang sebuah kampung kecil yang terletak di bagian bawah Afrika: Kampung Macassar. Maka ketika melintasi Baden Powell dan di salah satu sisi jalan itu terlihat petunjuk arah bertuliskan “Macassar” — kemudian beberapa meter berikutnya akan terdapat tulisan “Syekh Yusuf, Keramat”, saya tidak bisa menyembunyikan perasaan haru. Saya pijak juga kampung itu.
Masjid Nurul Latief, masjid yang didirikan oleh pengikut Syekh Yusuf ketika menginjakkan kaki di Cape Town. Berikutnya adalah makam Syekh Yusuf yang terletak di Bukit Zanfield. Kemudian suasana di dalam makam Syekh Yusuf.
Kampung Macassar sangat terbelakang — dari segi pembangunan fisik dibanding kawasan lain di Cape Town. Tapi siapa sangka kampung kecil ini justru menjadi inspirasi beberapa tokoh di Afrika, seperti Nerson Mandela dan Gubernur Western Cape, Ibrahim Rasol dalam perjuangan mereka. Bagaimana kondisi masyarakatnya? Warna Makassar apa yang masih terlihat?
Jalan masuk ke perkampungan belum beraspal. Debunya cukup tebal. Bila ada kendaraan yang melintas akan menutupi pandangan. Dibanding tempat lain, kawasan ini cukup tertinggal dalam pembangunan fisik.
Sekitar 200 meter kemudian, Masjid Nurul Latief yang dibangun Syekh Yusuf bersama pengikutnya akan terlihat. Masjid yang sangat sederhana. Debu yang beterbangan menjadikan masjid itu tampak kusam. Semula masjid itu seluas 10X10 meter. Telah berkali-kali direnovasi. Ketika mantan presiden Soeharto berkunjung ke masjid itu dan berziarah ke makam Syekh Yusuf, masjid itu juga direnovasi. Atap, plafon, dan jendela masjid diganti. Saat ini masjid itu luasnya 30X25 meter. Meski demikian, tetap saja terlihat bersahaja.
Konon, dalam suatu waktu — lantaran cintanya terhadap Syekh Yusuf, maka arah kiblat masjid itu, oleh masyarakat setempat, diarahkan ke Makassar. Beberapa tahun kemudian arah masjid itu dikembalikan sebagaimana mestinya. Ada juga yang berpendapat bahwa cuma pintu masjid yang diubah. Pintu masjid kini menghadap ke Makassar. Saya berpendapat itu yang tepat. Karena bila memasuki masjid, bukan ruang masjid yang langsung tampak tapi tempat wudu.
Jalan kecil di sisi kanan masjid yang menghubungkan beberapa rumah penduduk, terdapat tulisan yang berisi larangan, antara lain, minum minuman keras, mencuri dan sejenisnya, serta tidak berpakaian sopan. Di sisi kiri masjid juga terdapat sebuah jalan kecil. Jalan ini menghubungkan makam Syekh Yusuf yang terletak di atas bukit kecil yang berjarak sekitar 150 meter dari masjid. Jalannya lumayan mendaki. Beberapa anak kecil berdiri di jalan kecil itu.
Saya memperhatikan raut wajahnya, sangat tidak nampak garis Makassar. Boleh jadi karena kedatangan pertama rombongan orang Bugis-Makassar yang diasingkan di tempat ini, telah berlalu tiga abad. Anak itu dengan ramah mengucapkan salam, Assalamu’alaikum dengan sangat santun.
Sampai juga saya di tempat ini. Tempat yang selama bertahun-tahun hanya dapat saya terawang setiap kali melihat peta dunia.
Makam Syekh Yusuf berbentuk bangunan segi empat dengan luas 3X3 meter. Bagian atasnya berbentuk kubah yang dicat hijau. Terdapat empat kubah kecil mengelilingi kubah utama. Sebelum tiba di makam, terdapat sebuah tugu yang menjelaskan tentang 49 pengikut Syekh Yusuf. Empat orang dari 49 itu dimakamkan di situ. Agak ke atas, terdapat lagi sebuah tugu, yang menegaskan kedatangan pertama Syekh Yusuf dan rombongannya dengan kapal de Voetboog pada 1694 setelah dibuang dari Ceylon, Srilanka. Juga terdapat tujuh buah meriam tua yang mengelilingi kawasan makam.
Mendekati pintu makam Syekh Yusuf, hawa ‘keramat’ cukup terasa. Juga muncul semacam perasaan haru. Terharu melihat makam ulama besar dari Makassar. Terharu melihat suasana di sekitar makam: daerah gersang, berbatu, karang kapur, dan terpencil. Saat sekarang saja keadaannya seperti itu, bagaimana ketika Syekh Yusuf tiba 311 tahun yang lalu?
Beruntung di bawah sana, ada sungai kecil di kaki bukit. Sungai yang tidak pernah kering. Jernih dan terjaga. Konon, sungai itu tempat Syekh Yusuf mengambil wudu.
Maka wajar bila rombongan tim Kesenian Sulsel yang tiba dua hari lebih awal ke Kampung Macassar, saya dengar meraung haru, air mata tumpah, ketika tiba di makam. Haru akan perjumpaan emosional — yang menggumpal lewat riwayat perjuangan Syekh Yusuf yang selama ini mereka ketahui.
Di dalam bangunan kecil itu, makam Syekh Yusuf dikelilingi pagar besi. Lantainya beralaskan karpet merah tebal. Permukaan makam itu, juga ditutupi kain merah. Jumlah kain itu sudah berlapis tebal. Kabarnya, setiap ada peziarah yang berkunjung dan keinginannya suatu waktu terkabul, salah satu perlakuannya adalah akan menutupi makam itu dengan kain.
Suasana di dalam makam sangat sejuk dan segar. Tak ada bau dupa yang menyesakkan hidung. Saya merasa teramat adem dan tenang. Teramat betah. Saat itu, saya datang ke makam sebelum salat Jumat. Setelah Jumat saya kembali lagi ke ruang makam, kirim Al-Fatihah, duduk berlama-lama dan menatap makam berlama-lama.
Di sini terbaring jasad Tuanta Salamaka Syekh Yusuf, ulama besar dengan berbagai cerita besar yang mengikutinya. Konon ketika menuntut ilmu di Mekah kepada imam-imam dari empat mazhab, beliau ditolak. Alasannya, Yusuf tak perlu belajar. Ilmunya sudah cukup tinggi. Dikisahkan pula bahwa ketika tiba di Mekah, bila sorbannya digeser ke kiri maka Kakbah akan miring ke kiri. Begitu pun sebaliknya. Dan ketika dalam perjalanan ke Tanjung Harapan, cuaca yang mestinya buruk karena musim hujan, justru laut tenang tanpa gelombang.
Bersama gadis cilik Afrika yang orang tuanya mengaku berdarah Makassar. Penduduk di kampung Macassar, sekitar 80.000 jiwa.
Macassar
Perkampungan Macassar dengan penduduk yang padat, dapat dijangkau dengan perjalanan sekitar 20 menit dari arah makam Syekh Yusuf. Beberapa bagian jalannya sangat parah. Belum lagi debu yang terkadang menutupi pandangan lantaran angin yang berembus cukup kencang.
Rumah-rumah penduduk sangat sederhana. Model rumah mereka seperti penduduk kebanyakan di Afrika yang tidak mempunyai variasi: kotak lurus dan polos. Salah satu corak yang mirip warna Makassar adalah jendela yang berjeruji kayu. Itu pun jumlahnya tidak seberapa.
Penduduk di Macassar sekitar 80.000 jiwa. Selain dari Bugis-Makassar, juga Malaysia, India, Arab, dan Arfika. Jangan harap akan menemukan kaum pria yang bercelana pendek. Itu dilarang di kampung itu. Kehidupan mereka teramat santun. Setiap berjumpa saling mengucap salam. Jabat tangan diawali dengan saling genggam jempol.
Beberapa rumah yang saya lalui, pemilik rumahnya menegur ramah dan mengajak mampir. Terbayang Makassar, hal seperti ini sudah teramat langka saya jumpai.
Mereka sehari-hari berbahasa Inggris. Tapi yang keturunan Makassar, masih saya jumpai berbahasa Inggris dialek Makassar. Misalnya, “yes” mereka sebut “ye” atau “iye”. Saya sempat tersentak ketika bertemu pemuda yang mengatakan, “Excuse me, nah?”
Penduduk di kampung ini sangat Islami. “Saya tidak kuat tinggal di kampung ini,” ujar Basri B Sila, seniman. “Setiap hari saya hanya terharu. Mereka sangat baik dan hidup saling menghargai.”
Saya melemparkan pandang ke arah makam Syekh Yusuf yang tampak kecil di atas bukit sana. Entah apa yang ditelah dilakukan manusia mulia itu di tempat yang gersang ini, sehingga ajarannya masih terbangun demikian kuat hingga sekarang. Entah apa yang dilakukan, sehingga seorang Nelson Mandela dan Ibrahim Rasul menjadikannya sebagai inspirasi perjuangan dan pembangunan Afrika Selatan.
Saya kemudian meninggalkan kampung Macassar itu dengan perasaan malu. Teringat Makassar di Sulsel, tempat kelahiran Syekh Yusuf. Teringat ucapan Andi Ima Kesuma Indra Chandra, Kepala Museum Kota Makassar: Di Makassar, spirit bahwa kita memiliki Syekh Yusuf justru tidak terbangun.
7 thoughts on “Jejak Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan”
Comments are closed.