Nur Alim Djalil
Jepang punya beragam jenis makanan. Umumnya yang segar dan disajikan serba mentah. Lumayan lezat. Ada juga jenis makanan, di rumah makan tertentu, untuk mencicipinya, mesti pesan tempat dua minggu sebelumnya!
Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada kami ketika tiba di Sakai adalah soal makan. Hal ini perlu dilakukan agar nantinya tidak menimbulkan persoalan. Soal makan kadang orang bisa salah paham dan akhirnya ada yang merasa terganggu. Orang Jepang sepertinya tidak mau terganggu oleh hal yang satu ini. Kebiasaan mereka setiap persoalan harus diselesaikan sesegera mungkin tanpa mesti menunggu-nunggu waktu. Karena itu, soal kepastian makan harus segera diselesaikan.
“Bisa menikmati aneka masakan Jepang?” tanya Shibuya Takeaki dari International and Curtural Affairs Department Sakai City, dengan sangat hati-hati, soal makan ketika bertemu di Kansai Internasional Airport.
Segera dijawab bahwa soal makan tidak ada masalah. Makanan Jepang apa saja oke, asal tidak mengandung alkohol, termasuk arak nasi (sake), pog, dan sejenisnya karena kami muslim. Mendapatkan jawaban itu, wajah Shibuya terlihat cerah.
Jamuan makan malam pertama, Rabu, 24 Mei. Kali ini di restoran tradisional Jepang, Maru-san Riyo-an Setsu. Ini rumah makan tertua di Sakai, sekitar 600 tahun. Sudah turun-temurun yang mengelola. Konon, rumah makan ini menjadi tempat favorit raja kala itu. Letaknya pun berdekatan dengan “kuburan raksasa” berbentuk pulau milik Mozu atau Nintokuryo.
Rumah makan itu khas Jepang. Serba kayu dan tamannya banyak ditumbuhi pinus serta bambu kuning. Sangat asri. Batu alam sangat dominan dan dimaksimalkan sedemikian rupa. Suasananya sangat nyaman. Ada air mancur kecil di sudut. Suasana Jepang sangat terasa, terlebih setelah disambut para pelayan yang mengenakan kimono.
Di setiap ruang makan, terdapat ruang kecil di ujung meja. Di situ terdapat lukisan ikan, patung singa, serta kembang. Itu merupakan penataan yang standar yang dimaksudkan agar siapa yang berada di situ merasa teduh dan tenang.
Duduk mengelilingi meja, para tuan rumah berada di sebelah kanan, para tamu di sebelah kiri. Berhadap-hadapan. Posisi duduk juga ada aturannya. Figur yang kedudukannya lebih tinggi duduk di tengah. Tamu pun seperti itu. Maksudnya agar tercipta keseimbangan.
Di hadapan kami duduk masing-masing Wakil Walikota Sakai, senator senior Hitoshi Kato, Asisten Walikota Sakai bidang Humas Ota Hiromi-chi, Asisten Bidang Hubungan Internasional Seiji Tsuruno. Di pihak tamu, masing-masing Meizar Abdullah MA dari Universitas Nasional, penulis, Muhammad Sahlan Kartono (Fajar TV), dan Hisanori Kato (akademisi dan peneliti masalah Islam).
Hidangan mulai didatangkan satu per satu. Prosesi ini sudah diatur sedemikian rupa, dengan menu terpilih yang telah dipesan sejak dua minggu sebelumnya. Setelah mendapat handuk kecil hangat, minuman pun dikeluarkan. Di pihak tuan rumah dihidangkan sake dingin yang dicampur sampanye. Pihak tamu dihidangkan teh dingin tawar. Kami mengangkat gelas, toas!
“Toas merupakan minum bersama sebagai penghormatan kepada tamu,” demikian Meizar Abdullah menjelaskan. “Mereka melakukan itu kepada tamu yang mereka senangi,” jelasnya.
Pertama yang dihidangkan adalah sup labu. Sekali glek langsung tandas. Makanan berikutnya datang. Berikutnya lagi seperti steak kwa, tempura, suzuki, osoba, sup kepiting Jepang yang empuk dengan saus uni dari binatang laut jenis bulubabi. Terus abalon Jepang yang empuk dengan saus telur ikan salmon (ikura). Semua lumer di mulut saking empuknya. Ah, srup… srup!
Pelayan tak henti-hentinya menanyakan bagaimana rasa setiap masakan yang disajikan. Tentu langsung dijawab ‘good’ sembari mengacungkan jempol. Setiap isi gelas berkurang, langsung diisi hingga penuh. Para petinggi Sakai itu setiap menuntaskan satu jenis makanan, langsung menutupnya dengan meneguk habis segelas kecil sake. Wajah mereka memerah. Jas mereka tanggalkan. Sementara kami kedinginan menyeruput teh dingin tawar.
Ada 10 sepuluh jenis makanan yang dikeluarkan satu per satu. Hingga makanan yang kesembilan semuanya lancar. Termasuk ketika makan daging dan ikan mentah. Giliran dikeluarkan makanan penutup, nasi kuah dan bakmi dalam ukuran besar, saya mengerutkan dahi. Ampun. Tak menyangka ending-nya akan begini. Perut sudah sesak, tiba-tiba dihidangkan bakmi sebagai penutup. Saya gugup.
Makanan Sumo
“Pernah lihat sumo? Mau mencicipi makanannya biar besar seperti sumo?” tantang Hisanori Kato.
Sumo adalah pegulat Jepang yang besar badannya minta ampun, seperti raksasa. Penasaran juga untuk menikmati makanannya. Seperti apa rasanya. Maka berangkatlah kami ke restoran yang menyiapkannya. Untuk jenis makanan ini mesti dipesan beberapa hari sebelumnya. Malah ada yang dipesan seminggu hingga dua minggu. Sebab, beberapa bahannya mesti dipersiapkan khusus.
Tidak menunggu lama, makanan itu pun dihidangkan. Isinya berbagai jenis sayuran seperti toge, jamur, dan kol. Juga daging sapi dan kerang. Ukuran sayuran dan dagingnya jumbo, tempatnya juga jumbo. Sungguh, ini makanan bikin sesak dan lagi-lagi membuat saya gugup bagaimana bisa menuntaskannya.
“Seorang sumo wajib makan ini dan rata-rata perhari mereka menghabiskan satu panci. Ada juga sumo yang menghabiskan tiga panci dalam sehari,” jelas Hisanori. “Di Jakarta masakan jenis ini juga sudah ada. Kalau mau pulang ke Makassar dan tidak dikenali teman serta keluarga lantaran sudah berbadan besar, ayo, silakah, habiskan satu panci ini,” ucapnya bercanda.
Umur Panjang
Orang Jepang kuat makan. Tapi juga kuat kerja. Makannya cepat, kerjanya juga cepat. Dalam kantor, mereka terkadang berjalan gegas dari satu meja ke meja lain. Malah kadang berlari kecil. Sangat dinamis. Karena itu mereka terlihat sangat bugar dan sehat.
Mungkin pola makan dan cara kerja itulah sehingga pada akhir 2005, 25.606 orang Jepang berusia lebih dari 100 tahun! Usia hidup yang cukup fantastis. Angka ini cukup besar dibanding 40 tahun lalu, yang hanya 153 orang. Selain makan dengan gizi yang tinggi, warga usia tua juga menikmati hidup mereka lantaran pensiun dan dana kesehatan terjamin.
Mereka juga gila kerja. Selama di Sakai, pekerja kebersihan jalan dan taman, rata-rata berusia lanjut. Umumnya perempuan. Mereka sebelum pensiun adalah pekerja kantoran atau para profesional. Setelah tua, mereka beraktivitas rutin dengan menjadi pekerja taman. Dengan demikian, kondisi tubuh mereka terjaga.
Dari 25.606 orang berusia di atas 100 tahun itu, atau sekitar satu di antara 5.000 orang Jepang, lebih dari 80 persennya adalah perempuan. Sudah bukan hal yang aneh, populasi perempuan Jepang ini selalu memegang rekor sebagai penduduk tertua dunia sejak 20 tahun terakhir.
“Rahasianya, makan makanan yang bergizi, kunyah baik-baik makanan hingga selembut mungkin, dan selalu berpikiran positif,” ujar Hitoshi Kato (76), senator senior Sakai dan terpilih selama 10 kali pemilihan.
Setiap akhir tahun Menteri Kesehatan Jepang selalu memberi penghargaan kepada orang tua yang berusia lanjut. Akhir 2005, misalnya, Menteri Kesehatan memberi selamat kepada 12.703 warga yang mencapai usia 100 tahun. Hadiah dan pesan khusus dari Perdana Menteri Junichiro Kaizumi juga disampaikan. Resepnya, sekali lagi, makan yang benar dan berpikir positif. Hm, sangat sederhana.
8 thoughts on “Cicipi Makanan Sumo Jepang”
Comments are closed.