Kenangan di Kota Kinabalu

Posted on

Nur Alim Djalil

Saya menuju Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, pada 14 April 2009. Kota ini sangat berkesan bagi saya. Selama dalam perjalanan, saya mengenang ketika menginjakkan kaki kali pertama di kota ini pada 1 Januari 1997. Seumur-umur kali pertama ke luar negeri, saya berangkat seorang diri, untuk meliput sebuah wilayah yang cukup jauh dari Kota Kinabalu, yakni Keningau, di wilayah pegunungan yang sungainya meluap dan mengakibatkan ratusan pendatang asal Sulsel, terutama Tana Toraja, meninggal dunia.

Bandar Udara Internasional Kota Kinabalu terletak kira-kira 8 km dari bandar raya Kota Kinabalu, ibu kota Sabah, Malaysia. (Sumber: Google)

Saya duduk di kursi paling belakang, ekor, kanan, dekat jendela ketika itu. Saya masih teringat, perasaan cemas yang luar biasa meliputi diri ini. Di Makassar saja saya masih sering salah jalan. Bagaimana pula di wilayah yang saya belum kenal sama sekali, di negeri orang. 

            Terbayang bagaimana ketika berada di rimba  Bandara Internasional Kuala Lumpur yang modern dan ramai. Bagaimana mengejar jadwal penerbangan ke Kinabalu. Di mana tempat untuk melaporkan pemberangkatan berikutnya. Bagaimana proses di dalam bandara. Bagaimana petugasnya. Juga saya gugup mengisi lembaran imigrasi lantaran takut salah. Berkali-kali saya coba melihat apa yang ditulis penumpang di depan saya. Hidangan pesawat seakan ditolak oleh lambung saya. Sering saya ke toilet.

            Ketika itu Malaysia Airlines masih membuka rute ke Makassar. Rute yang saya tumpangi ke Kuala Lumpur, mesti transit di Johorbahru. Ketika pesawat akan melanjutkan penerbangan ke Kuala Lumpur, belakangan saya merasa Tuhan mengirimkan seseorang untuk membantu meringankan kecemasan saya. 

            Seseorang yang “dikirim” itu berkulit cokelat, rambut sebahu. Dia duduk di samping saya. Pesawat mulai mengangkasa dan kami masih diam. Pikiran saya penuh tentang lokasi bencana yang akan saya tuju. Saya lupa bagaimana awalnya, berikutnya kami mulai ngobrol panjang. Dia bernama Zalina, pramugari yang bebas tugas dan akan ke Kuala Lumpur. Ia juga begitu bersemangat menceritakan kekasihnya, orang Indonesia, yang bekerja di perusahaan asing di Batam.

            Bayangan bagaimana berada di dalam rimba bandara internasional sama sekali tak terjadi. Semua berlangsung mudah. Zalina terus menemani. Mulai dari menukar uang, mengambilkan troli, ia lakukan. Setelah itu melaporkan tiket saya, kemudian mengantar  ke ruang tunggu keberangkatan ke Kinabalu. Sekitar satu jam pesawat akan berangkat dan Zalina juga menemani. Ketika penumpang dipersilakan masuk ke ruang tunggu, ia juga ikut. Ia kayaknya sudah dikenal baik petugas bandara. Selama menunggu pesawat kami ngobrol dan begitu dipersilakan naik, ia mengantar sampai ke pintu pesawat, melambaikan tangan sembari berucap “happy new year”.

Sebenarnya itu bukan nomor pesawat yang harus saya tumpangi. Pesawat saya masih satu jam lagi. Tapi entah Zalina ngomong apa, para petugas mempersilakan saya masuk pesawat dan ikut penerbangan ke Kinabalu.

Salah satu sudut yang menawan dari Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Kinabalu adalah salah satu kota yang banyak dihuni pekerja asal Indonesia. (Sumber: Google)

 Itu 13 tahun yang lalu. Sekarang saya kembali ke Kinabalu dengan rute yang hampir sama — singgah di Kuala Lumpur. Juga seorang diri. Jenis pesawat yang saya tumpangi juga sama. Tapi suasana dan keadaan bandara yang sudah sangat jauh berbeda. Tujuan saya bukan meliput bencana tapi sebagai narasumber dalam Workshop The Role of the Media in Countering Trafficking in Persons di Likas Square, Kota Kinabalu, Sabah. 

            Tempat duduk saya juga di dekat jendela, kanan, agak di depan. Tapi kali ini yang duduk di dekat saya adalah seorang lelaki keturunan, badan agak lebar, yang sejak duduk dan mengenakan sabuk, menyandarkan kepala, tertidur, mendengkur pula. Perjalanan selama dua jam berlangsung sesak seperti ini. Saya berdoa mudah-mudahan tak ada keinginan untuk buang air kecil selama penerbangan. Betapa susah payahnya melewati lelaki berbadan lebar itu.

            Tiba di Airport Internasional Kuala Lumpur, melewati garbarata, saya menarik tas ransel dengan bergegas mengejar penerbangan ke Kinabalu. Seperti berada di tengah ruang mal yang mewah. Jajaran penjual barang bermerk terletak di kiri-kanan. Bagian imigrasinya teramat jauh. Turun satu lantai, berputar sedikit, kemudian mendapati jajaran pintu imigrasi. Sebenarnya pintu ini bisa dilewati sebab bila akan melanjutkan penerbangan, masih akan mendapati pintu imigrasi untuk kota berikutnya yang akan dituju.

            Saya masuk ke salah satu jalur pemeriksaan. Tak ada penumpang lain yang ikut antre. Petugasnya masih muda. Saya menyodorkan paspor. Terdengar bunyi stempel. Tak ada masalah. Kemudian ia bertanya, “Mana tiket baliknya?” Maksudnya tiket untuk kepulangan saya nanti pada tanggal 16 April.

            Saya menjawab tidak ada. Peraturan di Malaysia, bila berkunjung ke wilayahnya, tiket kepulangan juga sudah harus ada. Bila tidak, kalau nasib lagi sial, kemungkinan akan ditolak masuk ke negara itu. Atau boleh masuk, asal membeli tiket kepulangan sekarang juga. 

            Beruntung sebelum berangkat, saya ngotot untuk disiapkan tiket pulang. Karena waktu yang begitu sempit, penyelenggara hanya mengirimkan kode booking yang sempat saya catat di balik kartu nama. 

            Saya menyodorkan kartu nama itu sambil tersenyum. Saya ingat senyum adalah bahasa yang paling indah. Petugas itu meraihnya dengan wajah menyelidik. “Itu nomor booking tiket pulang saya,” ucap saya. Saya juga menyebut maskapai penerbangan dan jam kepulangan.

            Petugas itu membacanya. Kartu nama itu kemudian ia sodorkan kembali, mempersilakan saya lewat, sembari menunjukkan arah pemberangkatan ke Kinabalu. Pintu keberangkatan ke Kinabalu pada pukul 20.45 adalah G10. Saya tiba di situ kurang lima menit pukul 20.00.

            Saya melewati bagian pemeriksaan akhir, kemudian masuk ke ruang tunggu, melepas letih. Saya bayangkan 13 tahun yang lalu, duduk seperti ini, ditemani Zalina. Sekarang, adakah yang bisa diajak ngobrol? Ada beberapa tampang Indonesia tapi kayaknya ia sibuk dengan pesawat selulernya. Saya benar-benar sendiri. 

            Duduk tak jauh di samping saya sepasang suami-istri yang sudah berusia lanjut keturunan China. Pakaiannya kompak. Atas-tengah-bawah sewarna. Hm, benar-benar pasangan sejati. Tapi tidak, keduanya sering bertengkar. Istri sering marah-marah, suami terus menggerutu. Istri batuk-batuk, suami sesak napas dan sesekali meludah di selembar sapu tangan. Dalam hati saya berdoa semoga tidak sebarisan kursi di pesawat. Doa saya terkabul. Sepasang suami-istri itu malah duduk tepat di depan saya.

                                                            ***

Saya kembali menginjakkan kaki di Airport Internasional Kota Kinabalu pukul 23.15 (sama waktu di Makassar). Sudah teramat banyak perubahan. Cepat sekali. Dulu begitu tiba di bandara, hanya sekali belokan, langsung pintu keluar utama. Sekarang berbelok-belok. Tapi suasananya mulai sepi. Dulu ketika tiba saya bingung akan ke mana, karena sudah larut malam, sekarang tidak lagi. Dulu lama saya berdiri di luar bandara, berpikir untuk menumpang taksi, sekarang tidak lagi. Dulu saya akhirnya memutuskan naik taksi, minta dibawa ke penginapan dekat terminal (semacam terminal antardaerah) untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah Keningau dengan tarif RM 65. 

            Sekarang saya dijemput Lilian Suiking salah seorang anggota Tenaganita, semacam lembaga swadaya masyarakat, dibawa ke Likas Square, Jl Istiadat Likas 88400. Saya ditempatkan di sebuah apartemen yang mewah dan serba sensor. Terdapat satu kamar tidur utama, dua kamar tidur yang masing-masing dilengkapi kamar mandi, ruang tamu dengan satu set kursi jok kulit, TV layar lebar, ruang rapat, ruang istirahat, ruang seterika, dapur, dan sudut minibar. Saya berpikir begitu mubazirnya ruangan yang luas ini untuk saya. Oya, di depan pintu tertulis: Senator Suite, 501.

            Besoknya, 15 April, saya membawakan materi soal kasus penjualan perempuan di perbatasan Indonesia-Malaysia di hadapan para wartawan Sabah, cetak, dan elektronik, termasuk sejumlah LSM, dan tokoh agama. 

            Saya sungguh heran, kasus-kasus trafficking, termasuk beberapa persoalan ketenagakerjaan, tidak diketahui sebagian besar wartawan di Sabah. Mereka begitu kaget ketika saya memaparkan beberapa data. Padahal, Kinabalu adalah kota yang tergolong besar terjadinya kekerasan tenaga kerja dan kasus trafficking. 

            “Ini kesalahan pemerintah Anda karena menjual warganya untuk bekerja sebagai pelacur di Malaysia,” tanggap seorang wartawan dengan suara lantang. “Mestinya pemerintah Anda mengambil langkah tegas dan tidak menjual warganya sendiri,” ujarnya dalam logat Melayu. 

            Wah, kayaknya dia mengundang media saya untuk “diadili” begini. Juga “mengadili” pemerintah saya. Agak tidak nyaman juga mendengar pernyataan “emosional” itu. Mana ia menyebut Indonesia dengan Indon lagi. Saya menanggapi bahwa kalau pemerintahan kami seperti itu, kami tentu tidak akan bodoh untuk melanggengkan pemerintahan seperti itu lantaran jangan-jangan saudara perempuan kami juga dijual. Tapi mungkin ada oknum pemerintah di wilayah perbatasan yang terlibat dan memudahkan berbagai urusan persuratan sehingga dicap itu tindakan resmi pemerintah Indonesia. 

            “Pemerintah kami sudah berupaya bertindak tegas. Tapi para penyelundup perempuan juga punya 1000 cara untuk meloloskan para korban ke Malaysia dengan cara apa pun. Sekarang di sejumlah hotel dan tempat hiburan di Kinabalu banyak perempuan yang diperdagangkan. Pasti pemerintah Anda tahu. Sekarang, beranikah Anda menuliskannya? Persoalan perdagangan perempuan bukan hanya masalah Indonesia-Malaysia. Sebagai catatan, beberapa kasus perempuan Sabah, warga di wilayah Anda ini, ada yang diselundupkan dan diperdagangkan ke Singapura,” tanggap saya. “Mengapa Anda menutup mata dengan saudara Anda yang diperdagangkan di Singapura?”

            Usai acara itu, sejumlah wartawan mengerumuni saya. Beberapa alat perekam disodorkan di depan mulut. Ada juga yang dari belakang. Sebagian mencatat. Mencecar dengan pertanyaan beruntun. Lainnya mengambil gambar. Kilatan blitz menimpa wajah saya.  Baru saya rasakan: begini rasanya bila menjadi sumber berita.

Esoknya, saya tidak tahu apa judul berita yang beredar di Sabah. Lilian dan Matilda mengabarkan ada semacam intel yang datang ke apartemen menanyakan panitia mengenai acara tersebut. Terlihat dia gelisah. Mungkin karena pernyataan saya itu. Entahlah. Namun masih cukup lama untuk jadwal kepulangan, Lilian dan Matilda serta  lainnya meminta untuk segera meninggalkan apartemen. 

Mereka membawa saya berputar-putar sembari menunggu waktu sore. Saya menikmati saja, menikmati sudut-sudut kota Keningau. Setelah berputar-putar, Lilian kemudian memutuskan membawa saya ke rumahnya. Bertemu kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya keturunan China. Saya disambut hangat. Saya diminta untuk beristirahat sembari menunggu jadwal keberangkatan ke Indonesia.

 

22,043 thoughts on “Kenangan di Kota Kinabalu”

  72. His strong and vivid statements on state and sociopolitical topics vladislav soloviev deripaska reviews of the state of the world often provoke criticism and arguments but always find their reaction among various segments of the population.

    Balas

  100. [url=https://propecia1st.science/#]cost generic propecia without prescription[/url] buy generic propecia without a prescription

    Balas