Nur Alim Djalil
Rumah mati lampu. Po’oh sudah terbiasa keadaan ini. Saudaranya di Banjarmasin mengabarkan telah mengalami pemadaman bergilir sejak tujuh bulan lalu. Keponakan di Pekanbaru menginfokan hal yang sama. Isi facebook-nya melulu soal keluhan mati lampu. Kerabat di Palu malah mengatakan heran di Makassar mati lampu lantas warga berdemo — kondisi mereka jauh lebih parah. Ternyata mati lampu bukan cuma di Sulawesi Selatan, di provinsi lain juga.
Di luar rumah sungguh gelap. Beruntung bulan bersinar terang. Po’oh membuka pintu pagar pelan-pelan kemudian memasukkan kendaraan.. Terdengar pintu samping terbuka, disusul jerit putrinya yang kegirangan lantas berlari menemui Po’oh. Seketika Po’oh menangkap tubuh putrinya yang berusia lima tahun, mengayun, berputar-putar, sembari melangkah masuk rumah.
Aroma wangi sabun sisa mandi sore tercium di pipi putrinya. Po’oh mencium kepalanya, menanyakan mengapa belum tidur. Juga tak lupa menanyakan apakah putrinya sudah belajar.
“Matlam, Pak!” jawab putrinya spontan. “Masak matlam bisa belajar?”
“Makanya, belajar sebelum matlam,” ucap Po’oh tersenyum.
Matlam adalah sebutan Po’oh untuk “mati lampu”. Putrinya ikut-ikutan. Sekali lagi, Po’oh mencium kepala putrinya.
Istri Po’oh menyiapkan makan malam, diterangi senter kecil. Ia bolak-balik dapur-meja makan. Nyala lilin mulai redup di beberapa sudut.
Pukul 20.30 Wita. Masih mati lampu. Dengan senter kecil, Po’oh menuntun putrinya ke teras belakang. Itu permintaan putrinya. Kebetulan rumah tetangga belakang tidak mendapat giliran mati lampu. Sebaliknya bila lampu Po’oh menyala, giliran rumah tetangga mati lampu. Cahaya di belakang rumah Po’oh cukup terang saat itu. Bulan benderang soalnya.
Putri Po’oh seakan kehilangan kantuk. Ia mengangkat kursi kecilnya kemudian duduk di dekat Po’oh. Udara cukup gerah, Po’oh membuka baju, kemudian memutar-mutarnya menghalau nyamuk. Di dapur, diterangi cahaya lilin yang tinggal sedikit, istri Po’oh memotong-motong pepaya. Sebentar mereka makan bersama.
“Saya mau menyenter bulan, Pak,” ucap putri Po’oh sembari meraih senter. “Biar tambah terang bulannya. Ini sampai ke bulan ya, Pak?” lanjutnya sembari mengarahkan senter ke bulan.
Po’oh tersenyum. Mengacak rambut putrinya. Ia menjelaskan, cahaya senter itu tak sampai ke bulan. Bulan sangat jauh di langit.
“Sampai, Pak. Tuh, bulannya kena,” balas putrinya.
Po’oh menggerakkan kedua alisnya. “Suka kalau mati lampu begini?” tanyanya sembari menghalau nyamuk di kepala putrinya.
“Suka. Bisa bakar-bakar lilin. Bisa lihat bulan. Bisa duduk-duduk sama bapak.”
“Kenapa memang?” kejar Po’oh.
“Kalau lampu nyala, tidak bisa lihat bulan. Bapak main komputer terus di kamar.”
Po’oh terkekeh. Ia kemudian mengangkat putri kecilnya itu, mendudukkan di pangkuan. Ia menghela napas. Tak mengapa mendapatkan giliran mati lampu. Sebab, pada seiris malam ini, toh ia memiliki suasana yang spesial bersama putrinya. Suasana yang ternyata bisa berkualitas. Bisa menyenter bulan….
FAJAR, Makassar, 30 Oktober 2009.
12 thoughts on “Menyenter Bulan”
Comments are closed.