Nur Alim Djalil
Setiap kali ingin mengisi premium, saya selalu teringat SPBU itu. Selalu ada dorongan untuk hanya mengisi di tempat itu. Tidak usah saya sebutkan letaknya di mana. Petugasnya ramah. Cara memasukkan premium juga tidak kasar sehingga tidak menggores permukaan tangki yang bisa mengakibatkan kebocoran.
Pernah ban kendaraan saya kempis ketika memasuki SPBU itu. Kepala petugas yang melihat kondisi kendaraan saya, meminta saya menepi, kemudian memanggil anggotanya untuk mengganti ban yang bocor tersebut. “Bapak menunggu saja, nanti kami selesaikan,” ucapnya. Sejak saat itu, setiap kali ingin mengisi premium, saya selalu ke SPBU tersebut.
Pernah saya membawa kendaraan ke tempat pencucian. Setelah selesai, belakangan saya tahu kalau tempat sampah saya tertinggal. Pekerjanya ketika membersihkan, pasti lupa mengambil tempat sampah tersebut kemudian meletakkan di tempat semula. Hanya tempat sampah, saya tidak menghiraukannya. Malah melupakannya.
Beberapa bulan kemudian saya kembali ke tempat pencucian itu. Setelah mobil saya dibersihkan, seorang pekerja mendatangi dengan membawa tempat sampah sembari bertanya apakah itu tempat sampah saya.
Saya tersenyum, mengangguk, menerima tempat sampah mungil itu, kemudian mengucapkan terima kasih. Selanjutnya, setiap ingin mencuci kendaraan, saya selalu memilih tempat itu, meskipun antrenya terkadang cukup panjang.
Ada kisah tentang seseorang yang berprinsip ingin memberi pelayanan terbaik kepada siapa saja. Bagi yang bergerak di bidang perhotelan pasti mengenal nama ini: Seth Gary. Dia telah memimpin beberapa hotel terkenal di dunia.
Suatu pagi, hotelnya kedatangan seorang tamu, pria yang datang dari Chicago untuk urusan bisnis. Pria itu datang terlambat malam hari sementara pagi, pukul 08.00 akan membawakan presentasi di sebuah seminar. Yang menjadi masalah, koper yang berisi pakaian, jas, celana, dasi, dan sepatu tertinggal di pesawat dan belum diantarkan. Pria itu sangat gelisah.
Apa yang dilakukan Seth? Dia membuat si tamu nyaman dengan menelepon beberapa toko, siapa tahu ada yang membuka lebih awal. Lantaran tidak ada yang buka, Seth kemudian menelepon manajer seragam hotelnya, mungkin ada persediaan celana yang cocok. Kemudian dipadukan jas olahraga yang tersedia di ruang makan, lantas dipinjamkan dasi. Sepertinya sudah lengkap.
Masalahnya tinggal sepatu. Seth mengamati kaki pria itu kemudian membuka sepatunya dan mengatakan, “Mungkin sepatu saya cocok.”
Pukul 08.00, sang tamu hotel membawakan presentasi dengan baik, penuh percaya diri, sementara di sudut ruangan yang lain, Seth memimpin para manajernya rapat dengan hanya menggunakan kaos kaki.
Kemajuan, peningkatan, kualitas, rasa suka, ternyata bisa dengan hal-hal sederhana: melayani — membantu mengganti ban kempis, mengembalikan tempat sampah, dan hanya meminjamkan sepatu.