Dream Come True, Biru Wisuda

by Nur Alim Djalil

Nur Alim Djalil

Perjuangan putri kami, Si Biru, menuai hasil. Dia meraih gelar ahlimadya di Universitas Isparta, Turki. Lewat video yang dia kirim, saya melihat Biru bersama teman-temannya melakukan selebrasi, melemparkan topi wisudanya ke udara, 23 Juni 2022. Ini adalah wujud impiannya yang panjang. Dream come true.

Di depan kampus (kiri) dan wisuda umum di Isparta Ataturk Stadium (kanan).

Saya masih ingat, ketika awal SMA, Biru sering membeli buku-buku yang terkait pengalaman kuliah di luar negeri. Biru sangat antusias membaca buku seperti itu. Saya membiarkannya. Membiarkannya bermimpi. Toh, masih ada beberapa tahun. Entahlah dalam perjalanan nanti, kemungkinan besar masih akan berubah. Beberapa negara yang masuk incarannya adalah Inggris, Australia, Jepang, dan Turki.

Namun tahun berganti, impian Biru tidak surut. Malah semakin tumbuh. Negara yang sudah jelas menjadi tujuannya adalah Turki. Sebuah negara dengan sejarah yang panjang, agung, dengan beberapa kisah yang sangat memukau sejarah. 

Justru saya yang kian berdebar. Pilihan kuliah ke luar negeri butuh pertimbangan matang. Terutama jarak yang teramat jauh. Benar, berat membayangkan jarak yang jauh dan terpisah di antara kami. 

Diam-diam, Biru mempersiapkan diri. Tidak hanya mempersiapkan pelajaran namun bagaimana ketika dia hidup merantau seorang diri nantinya. Dia belajar memasak. Resep-resep dia kumpulkan. Sampai kemudian dia bisa membuat pizza. Dia juga pelajari membuat masakan tradisional Makassar, seperti coto, konro, dan pisang ijo. Belakangan saya tahu, ternyata itu persiapan untuk jualan guna menambah uang kuliah.

Waktu terus bergulir. Tak terasa pendidikannya di aliyah menjelang akhir. Cerita dan keinginan kuliah di negeri orang semakin kencang. Namun Biru tidak bercerita kepada saya. Semua dia tumpahkan kepada ibunya. Biru tahu saya masih teramat berat untuk mengizinkannya. Saya berat mengatakan “ya” dan berat pula mengatakan “tidak”. 

Si Biru akhirnya memilih Turki. Pilihannya bulat. Itu saya lihat dari wallpaper utama henponnya yang bergambar Blue Mosque. Setiap kali melirik wallpaper itu, yang tergambar adalah bayang-bayang perpisahan dengannya yang kian dekat. Bayang-bayang hari yang sepi tanpa dirinya. Dan itu membuat dada saya seketika sesak.

Pengalungan medali pada saat wisuda untuk mahasiswa mancanegara di Isparta.

Akhirnya sekolah di aliyah usai. Biru sudah tamat. Biru samasekali tidak mendaftar di jalur undangan, tidak juga di jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Dia malah memilih lima kampus di Turki dengan mencoba berbagai jalur: beasiswa, reguler, dan apa lagi namanya. 

Kalau mengikuti keinginan sendiri, sebagai orangtua, lebih baik Biru tetap bersama saya. Setiap hari saya bisa memeluknya, bercanda, bertukar pikiran, berjalan sembari berpegangan tangan, menikmati masakan-masakannya, menikmati canda-tawanya, dan lain-lain. 

Tapi saya melihat kepala Biru juga berisi impian yang besar. Dadanya penuh semangat yang menyala. Bukankah saya selalu menekankan kepada mahasiswa bahwa anak muda harus banyak melakukan perjalanan? Petualangan? Seperti Ibnu Bathutah. Kok, ketika anak sendiri mau melakukannya saya merasa berat?

Saya tidak boleh menahannya. Saya tidak ingin, jangan-jangan dekapan yang saya anggap sebagai bentuk kasih-sayang, justru adalah penghambat utama cita-citanya. Saya tidak ingin, genggaman tangan saya, justru menjadi penghalang utama si Biru untuk mengejar impiannya dan membuatnya tidak bisa melangkah dan terbang jauh. 

Saya tidak boleh egois. Saya tidak boleh mengedepankan keinginan sendiri. Saya harus melepaskan pelukan dan genggaman tangan Biru — kemudian merelakannya pergi, sembari mengingatkan agar selalu bersandar kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Biru tidak terlalu melibatkan kami dalam urusan proses perkuliahannya. Mulai dari mendaftar, menentukan perguruan tinggi, kemudian seorang diri ke Jakarta mengikuti seleksi tulis dan wawancara. Beberapa alumni Ilmu Komunikasi Unifa yang mengetahui Biru akan seleksi di Jakarta kemudian menjemputnya, menemani dan mengajaknya jalan. Tentu memberinya support.

Beberapa pekan kemudian, tengah malam, Biru mendadak masuk ke kamar, air matanya tumpah, menyampaikan bahwa dia diterima kuliah. Dia memeluk saya dan istri. Saya memeluknya lama. Dada berdebar sangat. Anak ini tekadnya sungguh besar. Saya harus ikhlas melepas Biru mengejar impiannya. 

Dia kemudian ngebut menyelesaikan semua urusan administrasi. Dia ke Polda Sulsel mengurus surat Kelakuan Baik. Seorang diri.  Kemudian bersiap ke Jakarta mengurus visa lantas terbang ke Istanbul. Cepat sekali prosesnya. 

Kami melepaskannya di Bandara Hasanuddin dengan pelukan yang seakan tak ingin berjarak. Mata saya mengiringi kepergiannya memasuki bandara. Ransel di punggungnya tampak kedodoran. Tubuh ringkihnya tidak sebanding dengan koper besarnya. Dia melambai-lambaikan tangan dengan sumringah. 

Dan seterusnya. Berikutnya adalah cerita selama proses kuliah. Tentang dosen, teman kampus, teman asrama, ibu asrama, dan ibu kantin yang menjadikannya sebagai “anak angkat”. Juga tentang gempa, sakit, dan… digigit anjing. 

Suatu hari sepulang kuliah, Biru digigit anjing. Betisnya luka koyak. Namun Biru tidak langsung memberi kabar. Dia baru mengabarkan setelah semua urusan penanganan dokter selesai berikut sekian kali vaksin rabies. “Sudah aman, kok. Masih ngilu dan nyeri-nyeri sedikit. Tak perlu khawatir,” ucapnya tertawa guna menghalau kekhawatiran kami.

Wisuda khusus untuk mahasiswa mancanegara, Si Biru seorang diri dari Indonesia.

Sekarang Biru sudah wisuda. Dia menepati janjinya:  menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Bahkan lebih cepat dari perkiraan. Istri saya tidak bisa menahan haru melihat video-video prosesi wisuda yang dikirim si Biru. Saya juga sih. Dulu kami berencana menghadiri wisuda Biru. Namun apa daya. Bahkan sebelumnya, orang tua angkatnya menelepon kami, kalau Biru wisuda, kami diminta nginap di rumahnya. 

Biru wisuda tanpa kami dampingi. Sejak awal berangkat hingga dia selesai. Saya yakin, Biru tahu, di mana pun dia berada, jiwa kami selalu menyertai dan mendekapnya erat dalam setiap untaian doa.

22,451 thoughts on “Dream Come True, Biru Wisuda”

  1. Masyallah, sebagai orang tua kalian hebat mendidik anak, sehingga mereka mempunyai tekad yang besar untuk menunjukkan impian mereka kepada orangtuanya. Bangga melihat keluarga ini, semoga sehat sll dan diberi keberkahan oleh Allah Swt aamiin ya rabb🥰🙆🏻‍♀️❗️

    Balas

  48. I am an investor of gate io, I have consulted a lot of information, I hope to upgrade my investment strategy with a new model. Your article creation ideas have given me a lot of inspiration, but I still have some doubts. I wonder if you can help me? Thanks.

    Balas

  50. At the beginning, I was still puzzled. Since I read your article, I have been very impressed. It has provided a lot of innovative ideas for my thesis related to gate.io. Thank u. But I still have some doubts, can you help me? Thanks.

    Balas

  51. I am a student of BAK College. The recent paper competition gave me a lot of headaches, and I checked a lot of information. Finally, after reading your article, it suddenly dawned on me that I can still have such an idea. grateful. But I still have some questions, hope you can help me.

    Balas

  53. Today, I went to the beach with my kids. I found a sea shell and gave it to my 4 year old daughter and said “You can hear the ocean if you put this to your ear.” She put the shell to her ear and screamed. There was a hermit crab inside and it pinched her ear. She never wants to go back! LoL I know this is totally off topic but I had to tell someone!

    Balas

  60. best ed treatment pills [url=https://cheapestedpills.com/#]cheap erectile dysfunction[/url] what is the best ed pill

    Balas

  65. amoxicillin 500 mg tablet: [url=https://amoxicillins.com/#]buy amoxicillin without prescription[/url] amoxicillin 500 mg tablets

    Balas

  111. zithromax 250mg [url=http://azithromycin.men/#]buy zithromax online fast shipping[/url] zithromax for sale online

    Balas